ASAP kelabu itu masih saja mengepul, meski api sudah mulai mengecil. Ditambah lagi dengan aroma ban yang menyengat, juga tak menyurutkan orang-orang di sekelilingku untuk terus berteriak. Panas pun sangat menyengat dan udara kotor ibu kota tak memadamkan semangat orang-orang, yang di antaranya memegang papan ‘Menolak Lupa’ dengan gambar wajah pria berambut belah tengah.
Kepalaku berdenyut kencang dan badanku terasa lemas saat itu. Ditambah lagi, kepulan asap kelabu yang tak kunjung berhenti. Aku keluar dari kerumunan orang berikat kepala yang masih saja berteriak. Aku melepaskan ikat kepalaku, lalu duduk di seberang jalan. Teriakan-teriakan itu masih terdengar, meski samar-samar.
Udara yang kuhirup lebih segar dibandingkan ketika berdesakan dengan orang-orang sebelumnya. Mata juga lebih segar memandang sekeliling.
"Banyak yang demo di sana, kok enggak ikutan?" Penjual minuman berkacamata bulat mengejutkanku.
"Eh!" Aku kaget. "Sudah, Pak. Tadi sudah ikutan berteriak-teriak di sana."
Rasa hausku makin menjadi.
"Tolong Aquanya, Pak. Saya beli satu."
"Enggak usah beli. Nih, gratis buat kamu. Sepertinya kamu lelah." Pria bertopi bundar itu mengambilkan satu botol air mineral.
"Malah repot-repot sekali Bapak ini. Terima kasih ya, Pak. Iya, Pak, lelah. Lelah mendengar teriakan-teriakan itu juga. Hahaha."
Upayaku memecah suasana pun berhasil, karena bapak bermata sipit itu ikut tertawa. Dia menatapku. Lalu hening. "Nak, Bapak jadi ingat sesuatu."
Dia mengapa seketika begitu ya? "Ingat apa, Pak?" tanyaku padanya.
"Em.. Ingat anak-anak Bapak. Mungkin kalau mereka masih hidup, mereka sudah sebesar kamu," ujar bapak itu sambil tersenyum kecil dan matanya semakin menyipit.
"Nah, dulu Bapak punya sepasang anak, perempuan semua." Pria bersuara berat itu melanjutkan ceritanya. "Mereka menjadi korban ketika kerusuhan 1998. Saat itu kami sedang berjalan menyusuri pusat perbelanjaan di Jakarta. Tiba-tiba kerusuhan terjadi. Pertokoan dibakar. Orang-orang berlarian dan saya kehilangan anak-anak saya. Setelah satu jam berlalu, saya mendapatkan kabar bahwa anak saya terpanggang di dalam sana."
"Gawat sekali situasi saat itu. Bahkan situasi itu terus membekas bagi saya, sehingga melihat demo semacam itu terkadang saya takut," tambahnya.
Aku menahan air yang ada di mataku agar tak jatuh.
"Nak, kamu mengapa mau ikut menangis?" tanya dia sambil memegang lengan kananku.
"Pak, saya tahu bagaimana perasaan Bapak sekarang, bahkan saat itu," jawabku.
"Em.. Sepertinya ada yang kamu sembunyikan. Cobalah cerita pada Bapak!"
"Nasib itu juga menimpa saya dan saudara kembar saya, Pak. Dia juga meninggal karena terbakar. Dia meninggal 11 tahun yang lalu. Ya, setahun setelah anak-anak Bapak meninggal. Saya ingat saat bercanda dengannya. Saya ingat kami selalu 'berperang', berkelahi. Saya ingin sekali memukul tangan kanannya. Tapi karena kejadian itu, saya sempat bingung mau bagaimana." Air mataku pun mengalir satu kali di pipi kiriku. Aku segera mengusapnya, berdiri, dan berpamitan dengan bapak itu. Kudoakan agar anak-anaknya bisa menolong bapak itu masuk surga nantinya.
Cerita yang kusampaikan ke penjual itu usai dan kumeninggalkannya, lalu setelahnya aku melihat pria berbaju putih celana hitam yang menatap ke sekitar arahku. Aku menoleh ke belakang, ke kanan, ke kiri. Tidak ada orang selain aku dan bapak penjual minuman. Dia melangkah ke arahku. Aku berhenti. Lalu aku berjalan ke arah yang lain. Dia terus membuntutiku. Kumelangkah lebih cepat. Dia mengikuti irama jalanku. Kuberlari dan bersembunyi di tembok sebuah bangunan yang sama sekali tak kukenal. Kudengar entakan sepatu pantofel mendekati posisiku.
"Udara panas nih. Sudahlah, Bro! Jangan sembunyi! Aku tahu kamu itu Ikhwan, 'kan?" Suara itu terdengar berat dan asing buatku.
Lalu aku keluar dari persembunyianku. Kubergerak perlahan. Kuperhatikan dia baik-baik dari atas ke bawah. Dia menunjukkan dompetnya yang terdapat foto dirinya berbaju polisi dengan latar kuning. Di setiap pundaknya terpasang lipatan kain kaku dengan warna dasar cokelat tua dan bergambar sebatang emas. Di dada kanannya tertulis nama ‘Badai Suputra’. Pria bermata sipit itu tersenyum. Sontak kupeluknya.
"Ini konyol!" teriakku sambil menepuk punggungnya. "Polisi ternyata. Badai, Badai."