Hilang: dalam Mega Mendung

Ikhsannu Hakim
Chapter #8

Ruang (1)

GELAP, semua adalah gelap yang kulihat. Punggung dan kaki kananku seperti ada yang mendekapnya terus-menerus. Kucoba buka kelopak mata yang terasa berat. Secercah cahaya cerah masuk melalui celah antara kedua kelopak mata secara perlahan dan tampak kabur. Beberapa cahaya putih bergerak ke sana ke mari dan ada yang mendekatiku. Kemudian berganti cahaya warna hijau toska yang juga berlalu-lalang. Kukembali dalam keadaan gelap.

Aku berdiri di tengah kapal nan besar, namun tak ada manusia selain diriku. Mega-mega yang menggelap berkumpul di atasku. Mereka berkumpul makin menggembung dan berputar. Angin di sekitarku ikut memutar kencang. Melodi berantakan angin ikut membuat gelombang laut tak beraturan. Kapal terayun-ayun kencang. Cahaya putih terang beberapa kali tepercik dari dalam gumpalan besar awan gelap itu. Deras air terpancar dari awan gelap itu ke seluruh tubuhku. Kujatuh di lantai kapal yang sepenuhnya basah dan kaki kananku tertimpa papan kayu yang besar. Layar-layar bersisa beberapa robekan kain yang tergelantung di tiang tinggi, menyentuh tengah awan hitam. Cahaya putih terang menyambar tiang tinggi itu, hingga seluruh tubuh kapal terpecah dan tercerai-berai. Kupegang satu patahan papan kayu yang sebelumnya adalah lantai kapal. Ombak menggulung mendekatiku. Gulungan ombak melahapku mentah-mentah.

Maka aku memekikkan suaraku, "Aaaaaa....!"

***

Begitu pening terasa di kepalaku. Gelap tadi menjadi merah tua. Lalu kubuka mata perlahan. Cahaya putih dengan kombinasi cokelat pun memaksa masuk ke penglihatanku. Oh, kini aku di sebuah rumah; tepatnya di atas kasur. Tangan kiri disisipi jarum yang menyambung dengan botol infus. Kepala ada perban, yang kusadari ketika kupegang dengan tangan kanan. Kaki kanan tak bisa kugerakkan, seperti ada yang mencengkeram kuat. Kubuka selimut cokelat muda yang menutup badan hingga kaki. Oh, kaki berlapis perban. Kuangkat badanku perlahan untuk duduk, namun punggungku ada rasa nyeri.

Aku meraih ponselku yang ada di atas kepala ranjang ini. Layar bagian atasnya retak, namun ketika dihidupkan masih berfungsi. Di dalamnya tak ada cacat. Ada beberapa panggilan dari Bapak, Ibu, Mas Hafiz, Mbak Ila, dan Gery. Aku mengecek SMS dan begitu banyak pesan yang masuk dari teman-temanku. Farid, Sofyan, Dimas, dan juga Yayat. Inti pesan mereka sama, menanyakan keadaanku dan di mana. Gery pun kirim pesan : [Ikhwan, gue mau pinjam motor lu dong. Boleh?] Ger!? Motor!?

Ruang ini? Tunggu! Di mana aku saat ini!? Ini adalah kamar yang begitu rapi, tidak begitu banyak perabotan. Tentu saja bukan kamarku. Cat kamar berwarna cokelat muda, mirip dengan seprai kasur yang kupakai ini. Ada dua pintu warna putih, lemari juga berwarna putih. Teve tipis terpasang di dinding depanku. Bagaimana kalau aku berdiri dan mengecek ke luar agar aku tahu, rumah siapa ini? Ya, aku harus berdiri dan turun dari ranjang cokelat ini!

"Aaaa...!" Punggungku terasa sakit.

Namun setelahnya kudengar suara kaki berlari, lalu berhenti. Aku diam. Kuatur napas dengan wajar. Pintu putih dekat teve terbuka sedikit. Cahaya terang dengan ada bagian gelap masuk dari pintu yang terbuka makin lebar itu. Bayangan seseorang tercetak dari cahaya itu dengan goresan rambutnya yang sepunggung. Pintu pun ditutupnya sehingga cahaya dari luar pintu meredup. Dia memandangku. Dia tersenyum dan mendekatiku. Lalu ditariknya kursi di salah satu ujung kamar. Diletakkannya dekat ranjangku. Dia duduk dan memegang tangan kiriku. Memandangiku lagi. Pantulan cahaya matahari dari jendela pun menampakkan wajahnya. Dialah wanita yang dulu suka mengerjaiku.

Gumamlah aku, "Mengapa ada dia?" Aku mengencangkan suaraku, "Farah?"

"Apa? Ya, aku Farah. Kamu ndak apa-apa? Aku tadi dengar kamu teriak." Dia mencondongkan wajahnya ke arahku.

"Mungkin jauh dari tidak apa-apa, karena punggungku sedikit sakit. Emm... sebentar, aku di mana, Far?"

Berdirilah dia. "Kamu ndak tahu ini rumah siapa?" Lalu dia membuka jendela. "Biar udara segar masuk." Dia menyeret kursi ke dekat ranjang dan mendudukinya. Tangannya meraba perban yang ada di kepalaku. "Sakit, ndak?" Dia memencet salah satu bagian.

"Aaaa!" rintihku.

"Rasanya sakit ya? Hahaha." Farah tertawa.

"Aku serius nih! Ini di mana!?"

"Ndak tahu? Kamu di rumah seseorang yang ditakdirkan jadi saudaramu." Farah menjelaskan kepadaku dengan tempo lambat sambil mengangguk-anggukan kepalanya di setiap kata demi kata.

"Maksudnya?" Aku tak mengerti.

"Aku tambahkan ya? Kamu di Bekasi. Titik." Kali ini temponya lebih cepat.

"Sebentar! Bekasi? ... Mas Hafiz?!" Aku mencondongkan wajahku ke Farah. Farah menaikkan kedua alisnya, lalu menurunkannya. Aku menyernyitkan dahi, "Mas Hafiz? Mas..." Aku menolehkan wajahku ke jendela.

Aku melihat Farah tersenyum lebar, lalu berdiri dan menuju pintu selain pintu masuknya tadi. "Kamu kalau mau ke kamar mandi, bisa pakai ini; masih bersih. Eh, sebentar..." Kemudian dia masuk ke ruang itu, sambil mengucapkan kata-kata yang tidak begitu jelas di pendengaranku. Dia keluar lagi sambil menyembunyikan kedua tangannya di belakang dan mendekatiku. "...jadi kamu ndak usah keluar kalau cuma mau wudu, buang air, atau mandi. Tapi harus hati-hati, kalau kamu ke dalam sana terus menemukan ini."

"Dih! Buang! Buang enggak!? Buang! Buang kataku!" Aku memintanya membuang sesuatu yang dipegangnya.

Entah mengapa tak ada ubahnya perilaku gadis ini semenjak dulu. Dia membibit antena kecoak dan didekatkannya padaku. Antena yang dia pegang hanya satu, sementara antena yang lain tetap bergerak, begitu pula tubuhnya yang menggeliat-geliat. Tak menunggu waktu lama, sayap kecoak itu terbentang dan mengepak.

"Pergiiii...!" Aku teriak sambil melempari kecoak itu dengan selimut semampuku.

Akhirnya kecoak itu terbang ke luar jendela. Farah tertawa terbahak. Oh, tak tahukah dia bagaimana jantungku ini berdebar begitu cepatnya? Sial!

Napasku masih terengah-engah. "Sudah! Sudah! Hentikan tawamu! Far, kenapa aku ada di sini?"

"Sebentar aku coba berhenti tertawa dulu... Enam hari yang lalu, kan kamu ada rumah sakitnya Teh Putri. Kata Mas Hafiz, kamu habis balap motor, tapi motor kamu malah hilang juga."

"Uh, enam hari lalu?" Dalam pemikiranku pun ada pertanyaan lain yang tidak kuucapkan. Balap motor!?

Lihat selengkapnya