"MARIO! Maju ke depan!" pinta Pak Agung ke seorang anak dengan sorot mata dan garis rahang tajam yang duduk di seberangku. Anak itu maju ke tengah-tengah lingkaran yang kami buat dengan duduk bersila. Pak Agung yang berada di luar lingkaran anak-anak berbaju hitam itu dengan berjalan mengelilingi kami, memintanya untuk memilih satu anak lainnya. Beberapa anak saling berbisik, menunduk, bahkan ada juga yang dorong-mendorong. Anak bermata tajam itu mendekatiku, lalu menunjukku. Aku menoleh ke Iqbal yang duduk setelah lima anak dariku; dia tersenyum.
Akhirnya aku berdiri setelah Pak Agung memintaku, lalu aku berhadapan dengan Mario di tengah-tengah lingkaran. Pak Agung mendekatiku. Dia mengarahkan kami agar saling siap melawan setelah tangan Pak Agung sudah diangkat. Lalu kami diminta bersikap sempurna: kuda-kuda dan tangan di depan dada. "Yak!" seru Pak Agung dengan mengangkat tangannya, lalu aku tidak melihat lagi wajahnya, wajah Mario lah di hadapanku.
Ramai tepuk tangan dan juga sorak-sorai, membuat aku semakin siap. Sorakan itu lebih terdengar menyebut nama Mario, dibandingkan namaku. Mario menatapku dengan kedua alisnya mengumpul di tengah. Kaki kananku hendak kulontarkan, seketika kaki kirinya menerjang kaki kananku; robohlah aku. Nama Mario semakin menggebu kudengar. Aku berdiri lagi. Satu kepalan tangan kanan kuarahkan ke dada kirinya. Mario menarik, lalu mencengkeram tanganku yang mengepal itu dan kaki kirinya mengait kaki kiriku dari belakang. Tangan kiri coba meraih tubuh Mario, namun justru nyeri yang kudapat; ah!
"Ikhwan masih kuat?" tanya Pak Agung.
Oh sakit sekali, tetapi aku tidak mau menyerah. "Masih, Pak. Arhh." Terasa tangan Mario melemas, kutarik tangan kananku dan menyiku perut Mario. Aku tergelinding ke depan, sementara Mario jatuh ke belakang. Aku berdiri lagi.
"Ayo lawan! Ayo lawan! Ayo lawan!" teriak anak-anak di sekelilingku. Aku kembali bersikap sempurna. Mario berdiri membelakangiku. Pak Agung memberi tanda mulai kembali. Segera aku serang dan satu pukulan menggunakan tangan kanan dengan tenaga penuh.
"Duhh!" teriak Mario tersungkur sambil menutup mukanya.
Aku mengecek kepalanku yang sedikit basah dan berlendir, ternyata berbercak merah segar. Aku hendak meraih Mario untuk membantunya bangun, namun Pak Agung yang berlari lebih dulu meraihnya. Dibukalah tangan Mario yang menutupi mukanya itu oleh Pak Agung. Hidungnya yang bebercak merah, mengucurkan cairan lengket berwarna merah dengan sedikit warna cokelat tua pekat. Rahang bawahku saling bergetar dengan rahang atas saat menatapnya. Pak Agung membopong Mario ke teras rumahnya dan kami mengikutinya dari belakang. Istri Pak Agung menghampiri Mario dengan membawa kapas dan obat merah.
Lalu aku yang berada di depan dengan dirangkul pundakku oleh Iqbal, ingin sekali rasanya bersalaman dengan Mario. Pak Agung memegang tangan kananku dan menyeka cairan-cairan merah lengket yang menempel. Iqbal melepas rangkulannya. Pak Agung mengacak rambutku, lalu memutarkan badanku, sehingga aku – dengan masih diacak-acak rambutku oleh Pak Agung – berdiri di depan Pak Agung dan kami menatap teman-teman latihan silatku.
"Assalaamu'alaikum. Sebelumnya Bapak minta maaf. Sebenarnya Bapak ingin marah, namun mengingat kalian masih anak-anak jadi bisa dimaklumi. Begini, inilah alasan Bapak tidak memperbolehkan kalian memukul atau menendang wajah dan juga bagian intim lawan ketika sesi bertarung seperti ini. Lawan kalian di sini bukanlah musuh. Kita semua tetap teman, tetap keluarga, sampai kapan pun. Tidak ada niat mencelakai, tidak pula ada dendam." Pak Agung menyampaikan wejangannya dan ketika kata 'tidak pula ada dendam', tangan kirinya mengusap-usap dada kiriku dan tangan kanannya masih berada di kepalaku. Kemudian tangannya beralih ke pundakku dan memijitnya. "Baiklah. Latihan hari ini sampai di sini. Hati-hati di jalan ya! Assalaamu ‘alaikum." Lalu kami menjawab salamnya dan teman-temanku bergegas pulang.
"Haruskah aku juga pulang? Aku ingin menemani Mario." Aku menatap Pak Agung.
"Lebih baik kamu pulang, Wan. Bapakmu yo sudah jemput. Mario ben1 Bapak dan Bu Agung yang obati," jawab Pak Agung, lalu dia tersenyum padaku. "Ketika beradu, pasti ada yang menang dan ada pula yang kalah, bahkan ketika skor itu seri setidaknya ada selisih yang tidak bisa dinilai dalam angka. Namun bukan kemenangan maupun melihat kekalahan yang jadi tujuan kita beradu, melainkan sikap kita untuk saling menghormati dan saling memaafkan. Dalam hal ini, kamu sudah punya sikap menghormati. Dan yang perlu kamu miliki adalah sikap memaafkan; memaafkan diri kamu sendiri."
Aku belum mengerti apa yang disampaikan orang dewasa itu. Ketika orang dewasa berbicara terkadang mereka berbicara panjang lebar, namun yang dimengerti anak seusiaku hanya sekelumit. Ah sudahlah. Aku turuti saja kata Pak Agung untuk pulang.
Waktu itu orang dewasa itu menjemput kami berdua dengan mobil pikap-nya. Aku diam saja, sementara Iqbal menceritakan semua yang terjadi di latihan tadi; huf! Bapak menanyakan tentang keadaan Mario dan aku pun buka suara bahwa Pak Agung yang merawatnya dan meminta kami, termasuk aku, untuk pulang.
Akan tetapi, ada hal yang aku tidak mengerti tentang apa yang disebutkan Pak Agung. "Pak, bagian intim itu apa?"
"Nama lainnya adalah titit," balas ayahku datar.
***
"Apa mau titip? Makan atau apa gitu sebelum gue sampai kontrakan lu?" tanya Farid di telepon.