Hilang: dalam Mega Mendung

Ikhsannu Hakim
Chapter #11

Upaya (1)

PERPUTARAN roda itu semakin kencang, namun aku yang membonceng di belakang justru merentangkan tangan. Ketika lewat rumah Mbah Rudi yang terdapat mobil terparkir di halamannya, wanita tua itu memanggil kami untuk mampir. Iqbal menghentikan kayuhan sepeda kebo kami, lalu kembali mengayuh ke halaman rumah Mbah Rudi. Aku turun dari boncengan kemudian Iqbal menaruh sepeda. Kami menghampirinya.

"Enten napa1, Mbah?" tanya Iqbal.

Ruas-ruas jariku kuremas. Lalu kami berdua meletakkan tangan lurus ke depan bawah, dengan tangan kanan menggenggam tangan kiri, dalam budaya Jawa disebut ngapurancang. Kami juga sedikit menundukkan kepala dan sedikit membungkuk, di saat bertanya pada Mbah Rudi.

Simbah Rudi masuk rumah. Tak lama dari itu, beliau keluar bersama seorang bocah laki-laki berkulit putih langsat dan bermata sipit, serta berdaun telinga lebar. Badannya sedikit lebih tinggi dari kami berdua.

"Ikhwan! Mrene kenalan karo putune Simbah seko Jakarta2!" pintanya sambil memegang tangan kanan anak itu kepadaku.

Lalu dia mengajakku dan Iqbal bersalaman. "Gue Badai."

Aku dan Iqbal saling berpandangan. Kucoba menarik bibir agar menyimpulkan senyum, walau mata tidak mau mengerut.

Tak lama kami berkenalan. Iqbal sedikit lama memegang tangan Badai. Aku senggol, lalu dia menurunkan tangannya.

"Anggonanmu3 hitam begitu memangnya dari mana to?" tanya Mbah Rudi.

"Nih kami baru saja latihan silat, Mbah," jawabku.

"Alah, Le, kamu ikut saja latihan silat," ucap Mbah Rudi pada Badai. "Badai mulai hari ini tinggal dengan Mbah. Sebentar lagi orang tuanya pulang ke Jakarta. Dia juga bakal sekolah TK yang sama denganmu. Jadi mau ya menjadi teman?"

"Dengan senang hati, Mbah," jawab aku. Sementara Iqbal serta Badai menjawab "Mau" secara bersamaan. Lalu kami semua tertawa.

Lihat selengkapnya