"IKHWAN, apa yang sebenarnya terjadi terkait gantungan kunci itu?" tanya Badai sambil melipat tangannya menempel pada dada yang tertutup kaus polos hitam.
Namun kucoba tenang. "Ini cuma mainan tentara, Dai. Kenapa lu tanya ke gue?" tanyaku dengan membibit mainan hijau berlaras panjang itu.
"Itu punya lu, 'kan?"
"Sampai di Bogor lu cuma mau tanya itu?"
"Apa itu aneh?" Dia berjalan lebih maju ke arahku. "Demo. Demo Munir. Itu terakhir kita bertemu. Di situlah gue melihat gantungan kunci itu sedikit keluar dari saku celana lu."
Aku semakin tidak bisa mengontrol degup di dada.
"Tapi ini bisa dimiliki siapa saja, Dai."
Badai mengambil kembali mainan tentara itu. Lalu dia membalikkannya dan menunjukkan bagian alas seperti papan selancar itu pada wajahku. "Ini! 11 Juli 1999, tanggal Iqbal diculik lalu meninggal saat itu juga. Mainan tentara ini adalah permainan yang kalian berdua sukai dan jadi permainan terakhir kebersamaan kalian."
Aku mengambil mainan tentara itu. Aku menghela dan mengembus napas panjang. "Ini mainan tentara, bukan gantungan kunci."
"Gue menemukannya di tol Jagorawi arah dari Bogor ke Jakarta, dekat SICC..."
Inisial fakultasku dipanggil; FEM. Fuh! Lega.
"Ayo buruan sudah mau tampil ini, Wan!" seru Bang Febrian yang memanggilku dari pintu Gymnasium.
Kujawab, "Iya, iya, Bang. Gue ke situ."
"Uh, sudah dulu ya, Dai." Lalu aku menatap Badai kembali. "Gue mau ke dalam. Ini penting." Aku memunggungi Badai dan pergi ke Gymnasium sambil menggenggam mainan tentara itu.
"Muka lu babak belur begitu, gue tahu kenapa. Gue juga sudah lihat apa yang lu gambar setelah itu, sketsa wajah-wajah," celetuk Badai dengan volume tinggi.
Erikan sirine terdengar. Meski aku tak melihat apa yang terjadi di dalam, namun aku tahu, itu tanda tim aerobik fakultasku masuk dengan konsep balapnya.
Lalu entah mengapa sirine itu bukan membuatku bergerak meneruskan langkahku, melainkan aku menjadi bergeming; diam di tempatku. Ya, itu karena Badai.
"Asal lu tahu, gue di sini ingin membantu lu, Wan," ucap Badai yang masih kupunggungi.
Cepat-cepat aku menatap, lalu mendekatinya kembali. "Untuk apa lu sampai mengurusi kasus di Bogor?"
Aku diperlihatkannya kartu anggotanya; Unit Penculikan dan Pembunuhan, Bareskrim.
"Kasus itu menjadi besarkah sampai lu ke sini?" tanyaku.
"Sebenarnya bagi orang awam mungkin itu biasa saja, karena media tidak banyak menyorot kasus itu dan lebih condong menyorot isu politik yang ada. Tapi bagi kami, apakah tidak aneh ketika dalam waktu bersamaan semua telepon kepolisian di Bogor baik itu Polsek, Polres, dan Polresta terputus, call center terus-menerus ditelepon oleh banyak panggilan, namun tak ada suara? Dan setelah itu terjadi, keadaan semua sambungan telepon menjadi normal. Lalu ada laporan tentang pengejaran motor pada mobil hingga bobol pintu tol Jagorawi di Bogor."
"Itu aneh. Lalu setelah diselidiki, semua CCTV tertembak dan tidak bisa berfungsi, karyawan tol tidak melihat detail para pelaku. Mobil itu raib, motor pun hanya bersisa bekas gesekan ban di jalan. Bagaimana itu tidak jadi masalah buat kami?"
Aku menarik Badai ke dalam Gymnasium. "Ikut saya! Saya mau urus tugas saya sebagai tim official fakultas. Awasi saya agar saya tidak melarikan diri... Komandan!"
Permintaanku membuat Badai menurut tanpa sepatah kata terucap. Kami masuk Gymnsium yang riuh dan kuminta Badai berdiri di ujung dekat panitia belakang. Aku menemui timku. Beberapa menit telah berlalu, sehingga aku terlambat. Aku lihat sudah sesi high impact; terlewat sesi opening, pemanasan, dan low impact. Setelah sesi dance, pendinginan, hingga penutupan, waktu tampil pun selesai.
Aku menuju ruang ganti dan kulihat Badai mengikutiku dari sisi seberang. Sudahlah, aku masa bodoh. Lalu aku menemui tim fakultasku terutama Farid dan Lina. Aku memberi mereka ucapan selamat atas penampilan yang sangat luar biasa.
"Sangat luar biasa dong. Cuy, gue menginap di kontrakan lu ya? Orang rumah sudah pada tidur euy dan gue terlalu kecapean juga," pinta Farid.
"Asal lu mau tidur di luar seperti biasa. Nanti gue temani, soalnya gue ada tamu," jawabku.
Jam di tangan menunjukkan waktu semakin malam, aku keluar sambil membawa dua air mineral jatah tim fakultasku. Badai berdiri di dekat pintu ruang ganti sambil melihat tim terakhir yang tampil.
Aku memberinya air mineral itu. "Enggak ada racunnya. Masih tersegel."