Hilang: dalam Mega Mendung

Ikhsannu Hakim
Chapter #22

Mega Mendung (1)

ISTRIKU – ya istriku, dia sudah resmi jadi istriku – menyiapkan sarapan bukan untukku saja, melainkan juga pesanan menu diet untuk teman-temannya di kampus. Tuturnya, itu sebagai wujud pengaplikasian ilmu kuliahnya di jurusan Ilmu Gizi Masyarakat. Bukan saat kami berumah tangga saja dia mempunyai bisnis menu diet paket bulanan itu. Akan tetapi, sejak dia tinggal di indekos bersama teman-temannya dan melaksanakan PKM.

Nikah adalah kata yang umum untuk pasangan memulai tinggal bersama. Begitu pula kami setelah menikah, memutuskan tinggal bersama di rumah kontrakan dalam sebuah perumahan – aku tak mau sebutkan di daerah mana kami tinggal, kau tak perlu menanyakannya. Kami mulai tinggal di kontrakan itu sebelum perkuliahan dimulai lagi. Namun barang-barang secara bertahap kami angkut dari tempat tinggal kami masing-masing sebelumnya.

Ini terdapat tiga kamar, dapur, kamar mandi, ruang tamu, dan ruang tengah yang kami jadikan juga ruang makan. Kamar depan adalah ruang belajar dan gudang, kamar di belakang ruang tamu sebagai kamar tidurku, sementara kamar di sebelahnya adalah kamar Iris, istriku.

Lalu kamarku di kontrakan sebelum aku menikah, kami jadikan kantor organisasi ‘Temukan Yang Hilang’; ya kami menjadikan itu organisasi. Ditolak? Ya, memang program kami ditolak oleh Dikti, tapi apa salahnya kami melanjutkan program itu? Lagi pula, aku dan juga Yayat bisa menyumbang dana untuk program itu. Pertama, pendapatanku dari menggambar sketsa di media sosial. Kedua, pendapatan Yayat dari desain grafis dan program komputer.

Ah, sepertinya kita kembali ke persoalan rumah tangga lagi. Bapak sudah membiayai kuliah kami bahkan kebutuhan harian kami. Dikatakannya bahwa dirinya bertanggung jawab atas pernikahan kami, karena kami belum lulus kuliah. Namun pendapatanku kusisihkan untuk program itu dan keluarga. Sementara kebutuhan makan, entah mengapa Iris selalu ada stok bahan makanan.

Hal yang membuatku canggung di awal saat tinggal bersama Iris adalah membuka baju di hadapannya. Namun sehari lalu berganti hari, mulai muncul rasa ‘bodoh amat’.

Awal kami berada di rumah ini, Dik Ris – aku memanggilnya begitu – selalu memberi senyum untuk memulai hari. Dia sarapan bersamaku dengan masakannya. Berbagai cerita disampaikannya ketika sarapan maupun makan malam, meski aku tidak banyak bicara.

Walau kami sekampus, kami menggunakan kendaraan sendiri-sendiri. Karena selain jadwal kuliah yang berbeda, Dik Ris biasanya mengantar pesanan-pesanan dahulu. Namun sebelum kami berpisah – entah aku atau dia yang berangkat lebih dulu – dia mencium tanganku lalu aku cium keningnya.

Aku amati, sebulan berlanjut dua bulan, dia tidak begitu banyak cerita di meja makan seperti awal-awal kami bersama. Aku juga tetap tidak banyak cerita, masih sama. Ketika berpisah pun, dia hanya mencium tanganku lalu segera pergi membawa pesanan. Berkali-kali tak sempat kukecup keningnya yang halus itu.

Lalu pernah suatu ketika saat kami makan malam, dia keluar dari kamarnya membawa sebuah kotak berlapis kertas kado yang sudah terbuka. Aku dimintanya mengambil barang-barang di dalamnya: ada sabun mandi cair, sikat dan pasta gigi, sampo botol, dan pembersih muka pria.

"Apa kamu yang beli?" tanyaku.

Kemudian dia menerangkan bahwa itu adalah kado pernikahan dari Lina. "Mengapa dia beri kado seperti itu? Aku bukan mengharap kado yang mahal atau bagaimana, namun lucu saja."

Ucapannya memang lucu, namun tak ada tawa atau kerutan senyum yang dimunculkannya. Apakah bagiku itu lucu? Hahaha. Sangat lucu. Bagaimana tidak? Peralatan mandi pria sebagai kado pernikahan kami.

Makan malamnya hanya dilahap tiga suap. Lalu dia pergi ke kamarnya dan mengunci pintunya. Aku tidak mengerti mengapa begitu, namun aku tak melihat wajah seperti orang sakit darinya. Ya sudahlah, kuteruskan makan malamku dan membereskan meja setelah selesai.

Esoknya, aku sudah disiapkan sarapan olehnya. Namun dia meninggalkanku begitu saja, katanya dia sudah sarapan dan hendak mengantar pesanan.

Maka kupanggilnya, "Dik Ris..." Aku menjeda bicaraku hingga dia menoleh. "...tolong jangan sampaikan pada siapa pun."

Iris hanya menunjukkan senyum dari bibirnya; hanya dari bibirnya. Lalu dia pergi dari pandanganku. Sudahlah, aku menyelesaikan sarapanku dan kucuci piringnya setelah itu.

Lalu aku mengaktifkan data seluler di ponselku, oh notifikasi dari aplikasi TYH (Temukan Yang Hilang) semakin bertambah. Beberapa hari itu notifikasi terus bertambah, bukan pelaporan adanya penemuan melainkan pertanyaan-pertanyaan dari pengguna tentang kepastian korban.

***

"Iya, Dai. Ada kabar tentang Mario?" tanyaku dalam telepon usai sarapan di warteg sambil mengantre gehu (tahu pedas) di dekat Berlin; gerbang kampus yang merupakan celah dari tembok mirip tembok Berlin dan hanya bisa dilalui oleh orang saja.

"Kenapa lu terus saja menanyakan Mario dan komplotannya sih? Bapak lu sudah minta tolong gue menjauhkan lu dari persoalan penculikan ini, Wan. Katanya, lu sudah menikah, fokus sama keluarga lu saja dan masa depan," jelas Badai.

"Ini lagi! Hei, hei! Jangan sok jadi bapak gue deh!" seruku.

"Ini loh, gue itu..."

Lihat selengkapnya