LELAKI bersorot mata tajam masih menempelkan moncong pistolnya ke pelipis istriku.
Istriku masih terikat di kursi dengan mulut tersumpal kain lap bekas yang basah. Suaranya mengumbang tak jelas. Matanya coba menggapaiku, namun tak mampu. Hanya tergulir air mata yang mengalir di pipi sederas aliran air hujan di genteng vila dalam malam yang kami peluk berdua.
Namun aku tidak semudah itu mendekatinya. Dengan masih bertelanjang dada, kedua tanganku menyentuh udara dan kedua kaki bertelanjang tanpa alas. Aku bergerak menghampiri mereka perlahan. Meja dapur memisahkan kami, sehingga aku menempel pada ujungnya.
Gertakan Mario terucap keras, "Mendekat lagi, peluru melayang ke kepala kalian!"
"Kalian menyembunyikan di mana para anak yang diculik, Mario?" tanyaku dengan tubuh yang sedikit bergetar. Aku tak tahu pasti, penyebabnya apakah dingin atau pistol yang mengarahku.
"Ush! Sudah dapat surat dariku to? Oh, tepatnya itu disebut surat peringatan awal. Semoga yang terakhir juga."
"Nanti dulu! Jawab! Di mana anak-anak itu dan juga Iqbal!?"
Genggaman Mario pada pistol semakin kuat. Dia mendekatiku masih sembari menodongkan lubang pistol hitam itu ke dada kiriku. Matanya tak lepas dariku. Dia semakin dekat. Ujung pistolnya terasa dingin di dada kiriku yang di dalamnya terasa panas meronta-ronta. Jika saja peluru terlepaskan dari moncong yang menempel di epidermisku, habislah sudah.
"Apa masih belum jelas tentang isi surat itu?" bisiknya dengan bibir berjarak lembar uang kertas pada telinga kiriku. Matanya masih menatap mataku seperti burung hantu di tengah malam gelap. Hidung bengkoknya hampir menyentuh pipiku.
Namun hanya embus napas sekali yang kuberikan.
Ya, itu hanya pengalihan. Lutut kaki kananku menyodok paha kirinya. Dia mundur. Kedua tanganku turun dan merangkam tangan kanannya yang memegang pistol. Kutarik ke atas. Sangat kuat tangannya untuk melepaskan tanganku. Pelatuk ditariknya. Satu peluru terlontar. Lampu dapur menjadi korban; pecah. Pecahannya menyebar di meja dapur.
Aku sedikit kesulitan memegangnya. Tangan kiri Mario lepas, lalu hendak menghantamku. Kutahan kepalannya dengan tangan kananku. Aku mencengkeram kuat dengan kedua tangan. Tangan kirinya itu mulai mundur. Aku segera ambil garpu yang kusembunyikan di saku celana belakang. Kutancapkan langsung ke tangan kanannya. Pistol lepas. Kutendang ke pintu dapur.
Namun garpu tidak menancap. Ada bekas tiga cekungan kecil di tangannya. Dia bersiap menghantamku dengan tangan kanannya. Kutendang badannya. Jatuh telentanglah dia di atas meja dapur. Meringis. Beberapa pecahan lampu menusuk tangannya. Berdarah. Kaus kelabunya menjadi bebercak merah. Saat dia berbalik badan, punggungnya juga bebercak darah.
Garpu kembali kuambil. Sementara dia melepas kaus itu dan melemparnya ke arahku; jadi kami sama-sama telanjang dada. Dia lari dengan teriakan dan kepalan yang dialamatkan padaku. Aku merunduk. Tangannya menghantam kulkas. Aku mundur dekat kompor. Dia mengambil pisau di dekatnya. Pisau hendak menikamku. Garpu tidak bisa menahannya. Dengan sigap, tanganku lebih dulu meraih wajan teflon dan menjadikannya tameng. Pisau berarah ke mana pun, aku menamengi dengan pantat wajan. Saat pisau bersiap menggores pipiku, aku ayunkan wajan teflon laksana pebulu tangkis memainkan raketnya dalam Indonesia Open. Pisau lepas. Satu lagi. Kepalanya. Smash!
Aku menyeringai ketika dia menoleh dengan pipi tercap pantat wajan teflon. Dia lari lagi dan teriakannya lebih keras dan parau. Diterjangnya aku hingga kujatuh telentang di luar dapur; halaman belakang vila. Satu bogem mentah ke pipi kiriku. Asin! Kepalannya dilayangkan lagi ke pipi lainnya, aku tahan dengan tangan kiriku. Aku teriak sekuat aku menolak kepalan itu.