SUDAH dua hari kedua adik kembarku belum juga ditemukan. Polisi sudah menyebar berita kehilangan mereka di wilayah Sukoharjo, Surakarta, dan Karanganyar. Aku juga meminta bantuan Badai untuk menyebarkan informasi ke wilayah-wilayah lain. Namun belum ada laporan akan keberadaan mereka. Begitu pula info yang kuunggah di aplikasi 'Temukan Yang Hilang', belum ada tanggapan dari pengguna lainnya.
Esok setelah kehilangan itu, kedua kakakku kuberitahukan. Mas Hafiz ternyata sedang ada proyek di Surabaya selama sebulan dan aku janjikan bahwa akan kusampaikan setiap perkembangan kasus itu. Untuk Mbak Ila, kuhubungi melalui panggilan video ke gawai istriku. Sehingga aku dan Ibu bisa melihat tingkah Lelaki juga. Di akhir panggilan, Ibu melambaikan tangan dan cucunya itu seperti hendak membalas dalam lisan. Iris memegang tangan anak kami dan melambaikannya sambil berucap, "Dadah, Mbah..."
Gundah sebenarnya melihat cutiku sudah lewat. Sehingga siang itu aku kembali ke Jakarta. Kupamit pada Ibu, meski aku tak kuasa menatap matanya. Bahkan saat masuk mobil pun aku tak menolehkan wajah agar puas ditatapnya. Namun sebelum pergi, aku sudah berjanji padanya bahwa akan kutemukan kedua adik kembarku.
Aku masuk kerja sehari setelah itu. Dimas menarikku ketika aku baru saja tiba. Jarak wajah kami tidak sampai sejengkal. "Lu melakukan apa lagi sih!? Sekarang adik lu ikut hilang. Mau siapa lagi yang bertambah jadi korban!? Gue!?" bisiknya dengan penuh penekanan.
Lalu kuceritakan semuanya padanya. Ada satu hal yang ingin kuajaknya menyelesaikan semuanya. "Mendingan kita cari bersama, walau gue tahu selama ini gue lah yang salah. Namun gue punya petunjuk ini. Sayangnya, gue belum bisa memecahkannya," tuturku sambil memberinya kertas dari dompet.
"Apa ini? Garis titik?" ucap Dimas, lalu dia memiringkan kertas itu 60o searah jarum jam sehingga gambar yang aku salin itu menjadi horizontal. "Morse."
Hafalkah aku? Aku tidak hafal, sungguh. Aku bukan orang yang suka Pramuka seperti Mbak Ila. Bahkan menyadari bahwa itu sandi Morse pun karena Dimas. Betapa bodohnya diriku. Lalu aku cari di Google dengan kata kunci 'sandi Morse'.
Akan tetapi atasan kami meminta rapat. Tentu saja kami tidak bisa menolak. Hanya saja kami duduk bersebelahan, sehingga bisa mencuri-curi kesempatan untuk memecahkan sandi Morse itu ketika rapat dilakukan. Dimas memberiku catatan: G-N-J-N-I-9-7-4. Aku tidak mengerti kode yang sudah diterjemahkan dari sandi itu.
Lantas saja Dimas ke meja kerjaku setelah rapat. Aku menggeleng kepala. Aku tidak punya ide arti dari kode itu. Lalu aku mengajaknya menerjemahkan dari arah sebaliknya. Kami mendapat: 6-3-1-I-A-G-A-J. Tetap saja aku tidak mengerti. Apa sih maksud Yayat dengan kode-kode semacam ini?
Influencer yang hendak kami ajak kerja sama mengajak bertemu di Excelso, Plaza Indonesia. Ditemani dua kopi Gayo, kami berbincang. Aku memberinya catatan dalam beberapa lembar yang kukaitkan menjadi satu. Lembar ketiga dibukanya. Bodohnya aku, lembar itu terbalik.
"Nah, kalau terbalik jadi susah dong bacanya," candanya yang diiringi tawa.
Iya, benar, jika tulisan terbalik akan susah dibaca. Bahkan bisa salah dibaca. Ah! Selesai berbincang dengannya, aku segera pamit dan ke tempat yang sepi. Kutelepon Dimas.
"Kode itu! Dimas, sepertinya tadi terbalik. Coba ulangi kode itu!" Aku mendengarkan dengan saksama. "Baik, kita balik: J-A-G-A-I-1-3-6."