PADANG, 2012
"Aku cuma pergi 3 hari, bukan untuk selama-lamanya."
Perempuan itu terngiang akan ucapannya semalam. Bibirnya tertarik membentuk senyum saat mengingat wajah tegang kekasihnya yang dirundung kabut khawatir. Jatuh cinta kadang membuat seseorang menjadi lemah. Bahkan mendadak lemah untuk menerima jarak yang sama sekali tak berarti.
Namanya Derry, dia bukan laki-laki. Dia seorang perempuan yang keras kepala. Meski umurnya telah di ambang usia yang rawan karena belum juga menikah, Derry masih mencintai hobby berbahayanya. Berpetualang ke alam bebas, menikmati terjalnya gunung, sangarnya jeram sungai dan dalamnya dasar lautan kelam.
Derry adalah pecinta alam. Ketika kesempatan itu datang, waktu liburannya akan diluangkan di alam untuk menghabiskan akhir pekan.
***
Hawa dingin menyelinap melalui celah jendela. Langit diluar masih gelap. Awan hitam menggantung di langit subuh. Sedini itu, Derry sudah terbangun. Bersiap diri untuk pergi. Satu per satu barang bawaannya dikemas ke dalam Drybag Ransel setinggi pinggang.
Tenda … cek. Sleeping Bag … cek. Headlamp … logistik … baju selam … snorkle … hmmm …. Okey, komplit ... perempuan 28 tahun itu membatin, memeriksa kelengkapan isi ranselnya. Tangannya terhenti untuk berkemas kala mendengar suara ranting pohon mengetuk-ngetuk kaca jendela kamar. Angin tiba-tiba berhembus kencang. Cuaca mendadak tak bersahabat. Petir menggelegar. Hujan bukanlah sesuatu yang diharapkannya datang pagi ini.
Derry berjalan ke jendela dan menutup tirai yang tadi tersibak. Setelah menutup tirai. Dari luar kaca jendala, samar, sesosok bayang hitam berdiri di luar mengamati gerak-gerik penghuni kamar dan Derry tidak menyadarinya.
“Please, jangan hujan," ucapnya lirih. Derry melirik jam di dinding. Pukul setengah lima pagi. Dan, suara ketukan kembali terdengar. Kali ini, bukan dari kaca jendela. Melainkan dari pintu depan. Siapa yang bertamu sepagi ini? Apakah teman-teman mempercepat jadwal keberangkatan?
Ketukan itu berubah menjadi bunyi derit daun pintu yang dibuka. Derry bergegas menuju ruang tamu. Betapa kagetnya dia ketika mendapati pintu yang sudah terbuka. Di dalam temaram ruang tamu, dia mendapati sesosok bayang hitam berdiri mematung di depan pintu. Derry dengan sigap meraih saklar lampu. Setelah ruangan itu bermandikan cahaya, dia dapat melihat dengan jelas, siapa sosok yang sedang berdiri disitu.
“Erick!" Derry berteriak dengan kesal. Kedatangan Erick sepagi ini mengagetkannya. Pria itu mematung di depan pintu. Dia menyilangkan kedua lengannya ke dada. Menunjukan mimik wajah yang tidak suka.
“Jadi pergi?” tanya Erick, datar cendrung ketus.
Derry menghela napas sejenak. Dia mencoba menata mood agar tidak melontarkan kalimat yang mengundang perdebatan sengit sepagi ini. Seminggu belakangan, dua orang itu terlibat diskusi yang tidak berkesudahan. Erick menentang keras rencana Liburan Derry. Dan Ini sangat tidak biasa. Erick mendadak super protektif, terlebih sejak mereka bertunangan sebulan yang lalu.
“Aku sudah terlanjur bilang 'Iya' sama teman-teman. Sebentar lagi mereka akan datang menjemput.” Derry menjawab dengan tenang.
Erick melepas desahan napas kasar. Dia sadar, Derry adalah manusia paling keras kepala yang pernah dikenalnya di dunia. Dan bodohnya, keras kepalanya itu yang membuat dia tergila-gila setengah mati kepada Derry. Erick sudah 5 tahun mengenal Derry. 3 tahun sebagai atasannya di kantor dan 2 tahun sebagai kekasihnya. 2 tahun lamanya mereka menyimpan hubungan mereka agar tidak diketahui oleh orang-orang di kantor. Dan sebulan yang lalu, Erick memberanikan diri memasangkan cincin di jemari manis kiri Derry. Akhirnya mereka membuka hubungan mereka ke publik. Konsekuensinya, salah satu dari mereka harus resign, karena perusahaan tempat mereka bekerja tidak mengizinkan hubungan emosional sesama rekan sekantor.
Derry mengalah.
“Aku ngga mau mengulang alasanku kenapa aku ingin liburan. Anggap saja itu hadiah untukku yang sudah berkorban untuk hubungan kita," desis Derry.
“Tapi, kamu kan bisa memilih liburan kayak orang normal, Der. Ke Jogja kek, Singapore kek.”
“Ach … mainstream."
“Ke alam itu berbahaya, Der. Aku takut kamu akan … .” Erick tidak melanjutkan kalimatnya. Kekhawatirannya terhadap Derry, malah membuatnya terkesan cengeng dan berlebihan.
Derry tergelak. Bukan ingin meremehkan. Jauh sebelum kenal Erick, liburan seperti ini sudah menjadi pengisi waktu luangnya. Bahkan, setelah menjadi kekasih Erick pun, Derry masih berpetualang bersama teman-temannya. Dan Erick tidak pernah melarang. Tapi mengapa kini berbeda? Apa karena sebentar lagi Derry akan menjadi milik Erick seutuhnya? Hingga kebebasan Derry sudah berada di dalam genggamannya? Wajah Derry mengkerut. Ekspresinya kini membuat Erick takut. Dia takut kekangannya justru membuat hubungan mereka tidak sehat. Erick akhirnya melunak.
“Okey, aku izinkan. Karena percuma kita terus berdebat. Tapi … please! pulang dalam keadaan utuh.” Mendengar kalimat itu. Derry lansung menghambur ke pelukan Erick. Kakinya terpaksa berjinjit untuk menyejajarkan wajah mereka. Derry mengalungkan lengannya di leher Erick. Aroma wangi maskulin tercium dari rambut Erick yang masih basah.
“Aku janji akan pulang dalam keadaan utuh. Cuma, gosong sedikit ngga apa apa, yah?” Jawab perempuan itu dengan senyum yang tertarik lebar. Dia mengabaikan raut khawatir yang tidak mau sirna dari wajah Erick.
“3 bulan lagi kita akan menikah. Dan aku pun bersedia resign demi hubungan kita. Nanti, setelah resmi menjadi nyonya Erick Sanjaya. Paling, petualanganku akan sebatas kasur dan pasar sayur. Apa kamu ngga kasihan sama aku? So, please, izinin aku. Ini akan menjadi petualangan terakhirku.” Derry memelas. Dia menatap mata Erick lekat-lekat. Mencoba mencari isyarat adanya kesepakatan di sana.
Lama saling mengadu pandang. Erick mendekatkan wajahnya ke wajah Derry, bau mint yang segar tercium dari mulut Erick. Wajahnya terus mendekat, terus dekat tanpa sekat. Kini, lumatan lembut itu memagut bibir bawah Derry. Derry memejamkan mata, tenggelam di dalam aliran sengat asmara yang melena. Namun, tiba-tiba, pagutan itu merenggang. Derry melepas pelukan. Terdengar, suara klakson mobil memekak di luar, memecah ruang kasmaran mereka.
Jemputan telah datang.
***
Rinai merintik membasahi halaman rumah. Derry dan Erick menahan langkah. Dengan isyarat tangan, Derry melambai ke arah Mobil Hitam yang kini terparkir di depan rumah. Satu per satu, penghuni mobil itu menghambur keluar. Berlari sambil menunduk melindungi diri dari siraman hujan. Hawa dingin pagi berubah hangat saat lima sahabat itu berpelukan erat. Ada rindu yang telah lama memekat. Banyak cerita yang perlu mereka urai, setelah sekian lama tidak saling bertatap. Derry memeluk tubuh Ria dengan erat. Wanda pun ikut merapat. Aji dan Riko, hanya bisa menatap, ketiga manusia di depannya itu melepaskan rindu yang sudah teramat sangat.