Setelah lebih satu jam perjalanan. Rasa kantuk mulai menyerang mereka. Wanda dan Ria tampak terkulai, hanyut ke alam mimpi. Derry mencoba ikut memejamkan mata, namun gagal dia lakukan. Derry terpaksa terjaga. Gendang telinganya penuh dengan suara dengkuran Wanda.
“Dasar, kak wanda ngga pernah berubah. Dengkuran nya ngga ada akhlak" gerutu Derry sewot.
“Kenapa, Der?” tanya Riko, menatap Derry dari kaca spion kabin mobil.
“Biasa, ada truck pasir lagi nanjak." Derry menoleh ke arah wajah Wanda yang tertidur pulas dengan mulut menganga. Ngetrip bareng Wanda itu seru. Tapi, kenyamanan tidur akan sangat terganggu. Pernah dulu waktu pertama ngetrip bareng Wanda. Mereka malah terlibat cek cok hanya karena dengkuran. Suaranya menggema ke seluruh area tenda. Sampai akhirnya Derry terpaksa tidur di hammock dan nyaris di patok ular.
Derry, memilih bermain ponsel. Mengetuk aplikasi pesan di layar. Have fun yah. Jangan pelototin laptop terus. Ajakin Daniel dan Joko, ngopi.. Love You. Pesan terkirim. Sedetik kemudian, muncul sticker lucu berwajah boneka murung dengan tulisan 'sepi'. Derry mengulum senyum saat berbalas pesan dengan Erick.
Tak lama kemudian, saat lagi asyik bermaun ponsel, Derry mulai merasa tidak nyaman. Tubuhnya tergoncang dan oleng ke kiri ke kanan. Laju jalan mobil tidak semulus tadi. Deru mesin meraung karena bekerja dengan paksa. Derry menutup layar ponselnya.
“Lu yakin jalannya kesini, ko?” Derry melihat ke luar. Jalanan yang mereka tempuh kini tidak beraspal, hanya tanah keras yang berlubang, berbatu dan curam. Kondisi jalanan itu terlihat jarang ditempuh oleh kendaraan.
“Yakinlah, gw sering kesini kok," jawab Riko menenangkan.
Derry menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Menatap kembali layar ponselnya untuk kembali berbalas pesan dengan Erick. Namun sayang, mereka sudah memasuki kawasan tak bersinyal.
Deru mesin semakin meraung. Saat mobil mereka melewati tikungan. Derry bergidik ngeri. Tikungan itu gelap untuk takaran pencahayaan tengah hari. Serasa memasuki sebuah gerbang ke dimensi lain. Dahan-dahan pohon yang rindang terlihat melengkung saling bertaut dengan dahan pohon lain yang berada di seberangnya.
Tiba-tiba, perhatiannya teralihkan. Aroma melati samar-samar memenuhi indra penciumannya. Perhatiannya terus tersita oleh bau aroma melati yang menyengat itu. Setelah melewati terowongan, aroma melati itu sepeti menempel dan tidak kunjung hilang. Aroma mistis itu seperti ingin mengikuti kemana dia pergi. Dia mengendus-ngendus beberapa kali.
Gelagatnya mencuri perhatian Riko.
“Kenapa, Der?” Tanyanya
“Kayak ada bau melati, gitu. Dari tadi ngga ilang-ilang baunya.” jawab Derry masih dengan hidung yang kembang kempis mencari sumber bau.
“Yakin lu Der? Gw ngga ada kecium tuh. Udah ach, mending lu tidur aja. Perjalanan kita masih jauh, nih."
Derry menghentikan aksinya mencari sumber bau. Mengabaikan lebih baik daripada berprasangka yang tidak-tidak. Di sebelahnya, terdengar gerakan Wanda yang menggeliat.
“Ada apa?” Wanda bersuara dengan lirih, matanya masih terpejam.
“Gw nyium bau melati, kak," terang Derry.
“Ooo, sorry, itu parfum gw.” Wanda membalas ucapan tanpa dosa. Mendengar ucapan Wanda. Riko tertawa terbahak. Derry merungut kesal karena merasa dikerjai.
“Angker lu, kak. Pilih parfum aroma melati. Mana baunya sengit.” Derry mendengus kesal. Dia terlihat konyol karena bersikap paranoid.
“Sehat tahu, tanpa alkohol. Anti kanker. Baunya akan menyengat klo kena keringat. Gerah gw, nih. Eh! kita udah di mana?” tanya Wanda yang masih setengah terjaga. Dia sebentar bangkit mengamati sekeliling. Menemukan pemandangan hutan dan jalanan yang berlubang. Raut wajahnya menanggapi pemandangan yang didapatinya itu dengan santai. Wanda kembali terkulai. Melanjutkan tidurnya.
Mobil mereka terus melaju membelah jalan berbatu. Melewati tikungan tajam yang berlubang. Sesekali tubuh mereka terlonjak saat Riko tidak sengaja melindas bebatuan. Ria dan wanda tak kunjung terbangun, tidurnya lelap seperti baru saja menelan pil tidur.
Di depan sana, Derry menangkap tulisan dari gapura yang menyambut kedatangan mereka. “Desa Sungai Pisang”. Beberapa meter dari gapura. Mereka disambut oleh jejeran perumahan warga. Posisi rumah itu bersusun rapat. Itu artinya, perkampungan ini bukanlah perkampungan yang lengang. Hanya saja, terlihat agak suram.
Mobil bergerak pelan, ketika memasuki gang sempit perkampungan. Beberapa pasang mata yang sedang berdiri di tepian jalan, menatap ke arah mereka. Mereka menatap dengan tatapan aneh kemudian saling berbisik satu sama lain. Merasa tidak nyaman, Derry membuka kaca jendela. Menyapa para warga. Derry tersenyum dan disambut dengan anggukan pelan tanpa senyum. Warga di sini mungkin jarang melihat pendatang, batin Derry. Dia menepuk pundak Aji yang masih terlelap di samping kemudi. Juga membangunkan Ria dan Wanda.
“Ji, bangun. Buka jendela. Disapa bapak-bapaknya," titah Derry dari kursi belakang. Aji tergagap, masih setengah sadar. Dia mencoba membentuk senyum di wajah, untuk menyapa warga yang berdiri di pinggir jalan. Terlihat bapak-bapak menyandang gulungan jaring di pundaknya. Ada juga yang menenteng seekor ikan besar. Bapak-bapak itu berdiri mematung melihat ke arah mereka, sampai mobil mereka berbelok ke arah kanan di sebuah persimpangan. Aroma laut mulai tercium. Suara ombak memecah pantai terdengar samar.
“Kita sudah sampai, ko?” Tanya Wanda. Dia menggeliat seperti beruang madu yang baru terbangun setelah hibernasi musim dingin yang panjang. Ria mengucek-ngucek mata. Retinanya berbinar menatap hamparan lautan biru dari luar jendela.