Siapa yang bisa menyangka, di ujung Selatan Kota yang katanya Ibu Kota Provinsi, terdapat desa yang letaknya tersembunyi seolah enggan disentuh peradaban. Dipunggungi bukit barisan, tak lantas Desa Sungai Pisang menjadi tempat yang tertinggal. Tuhan sedang tersenyum saat menciptakan tanah pesisir itu, hijaunya hijau dan lautnya membiru sejauh mata memandang. Jika bukan di kota ini, mungkin Desa Sungai Pisang telah lama menjadi Desa Wisata incaran para turis manca. Namun, surga itu seperti memilih, siapa yang beruntung dapat menjajaki kaki di sana. Walau kadang harus menerima keadaan, ikut terisolasi dari dunia luar.
Derry menggulir layar ponsel, memeriksa panggilan atau pesan yang masuk, tetap kosong. Desa ini tidak menyediakan jaringan untuk sinyal telepon apalagi internet. Tak terfikirkan oleh Derry bagaimana orang-orang di kampung ini berkomunikasi dan mengirim atau mendapat kabar dari dunia luar. Terutama zaman sekarang. Pantas surga tersembunyi ini tetap perawan. Andai saja pantai-pantai ini bermunculan di media sosial, Derry yakin akan Viral. Dimana lagi bisa menikmati suasana pantai dengan kehidupan nelayan yang bersahaja. Kapal-kapal kecil berlalu lalang saling menebar jala untuk menjaring ikan. Orang-orang bekerja secara bersama-sama saling bahu membahu menarik pukat yang telah disebar dari semalam. Ketika pukat telah berada di pantai, siapapun dapat bebas mengambil hasil laut untuk dibawa pulang. Derry menatap kesahajaan itu dari gazebo Pak Ali.
“Lu dari mana? Ngilang aja!" tanya Derry saat melihat Riko yang tiba-tiba muncul di hadapannya.
“Cari toilet, kebelet gw," jawab Riko cengengesan. Riko berjalan ke arah gazebo dengan langkah gontai. Mukanya meringis. Tangannya meremas-remas perutnya yang terasa melilit.
“Masuk angin kali, tuh! Diminum tehnya, mumpung masih hangat,” kata Derry. Setelah menyeruput habis teh di gelas itu, Riko merebahkan tubuh. Wajahnya terlihat lelah dan kuyu. Mungkin karena seharian menyetir kendaraan.
“Ko, Pulau Bunian itu, amankan? Ngga ada astral-astralan, kan?” Tanya Derry tiba-tiba. Memecah kesunyian diantara mereka berdua. “Aman, lu kok parno-an banget sekarang. Ngga kayak biasa. Emang gini yah, efek orang yang mau menikah?!” Derry mendengus mendengar ucapan Riko yang terdengar sewot.
"Cuma nanya, tinggal jawab aja napa. 'Kan beres!" Derry membalas dengan ketus. Mungkin Riko benar. Dari awal keberangkatan, Derry terlihat menyimpan banyak kehati-hatian. Terbayang sekilas wajah Erick saat melepasnya pergi tadi. Wajah Erick begitu khawatir. Mungkin itu yang membuat Derry berubah paranoid. "Tenang, Der. Trip kita kali ini ngga ada bedanya dengan trip-trip kita terdahulu. Bahaya datang kalau kita ceroboh. Kalau yang astral-astralan. Kita kan bawa pawangnya," Riko memonyongkan bibirnya menunjuk ke ujung pantai di mana ada Wanda di sana.
"Kualat lu ntar, keseringan becandain Kak Wanda. Dia kan sponsor trip kita kali ini. Lu kudu kasih dia servis," balas Derry. Dia menyeruput beberapa kali teh yang disuguhkan oleh istri Pak Ali. Rasanya sangat segar di tenggorokan.
Dari kejauhan, tampak sepeda motor mendekat. Tubuh pengemudinya tertutup jerigen bensin yang di letakkan di balik stang kemudi. Tubuhnya kepayahan; menjaga keseimbangan akibat beban berat yang semestinya tidak dibawa oleh motor sekecil itu. Dibelakangnya, ada Pak Ali duduk berbonceng. Derry mendengar suara pengendara motor itu tidak berhenti mengoceh. Dia terdengar seperti sedang menggebu-gebu membicarakan sesuatu. Seperti sedang kesal.
“Sudah 3 hari mereka belum kembali. Uang bensin belum dibayar. Kapal saya belum dikembalikan,” ucap pengendara motor itu ngomel-ngomel. Motornya masih menyala. Deru mesinnya berbalapan dengan suaranya yang berbicara dengan berteriak.
“kapalmu dibawa si Agus untuk disewakan, 'kan? Lah kan bagus klo penyewanya memperpanjang sewa. Kau juga yang akan dapat untung," balas Pak Ali.
“Iya. Saya khawatir karena ngga ada kabar. Janjinya cuma dipakai 3 hari. Ini sudah seminggu belum kembali." Obrolan Pak Ali dengan si pengendara motor menarik perhatian Derry dan Riko. Istri Pak Ali pun keluar rumah karena mendengar obrolan mereka. Siapa yang belum kembali? Istri Pak Ali turun dari beranda, dia berjalan mendekat ke arah Pak Ali dan si pengendara motor yang sedang mengobrol. “Siapa yang belum kembali?" Ucapnya memotong pembicaraan.
“Si Agus. Bawa penyewa kapal kemping ke Pulau Bunian," jawab Si Pengendara Motor sambil menurunkan jerigen besar dari motornya.
“Apa saya bilang, kalau ada yang mau ke sana harusnya dilarang. Pulau itu angker. Kalau sudah hilang di sana tidak akan kembali,” ucap si Ibuk. Derry terperanjat mendengar celoteh si Ibuk.
“Husshhh … jangan sembarangan bicara, Tek -- bibi ---. Nakut-nakutin aja. Bisa-bisa makin ngga ada orang mau ke kampung kita. Ngga ada yang menyewa kapal kita. Kalau mengandalkan mencari ikan, zaman sekarang susah. Bensin mahal, ngga balik modal.”
“Dibilangin ngga percaya,” balas si Ibuk sewot.
“Zaman sudah canggih, Tek. Udah ngga ada yang begituan,” Si Pengendara Motor menghidupkan mesin kemudian berlalu dengan memilin gas motor. Terdengar suara meraung bunyi kasar dari mesin motor bututnya.
Derry masih menyimak kelanjutan obrolan Pak Ali dan istrinya. Dia berharap, si Ibuk itu memang berlebihan.
“Imah, jangan bahas-bahas yang tahayul seperti itu. Betul itu kata si Pardi. Nanti orang-orang pada takut ke Pulau, bisa-bisa kapal kita ngga ada yang nyewa," ucap Pak Ali sambil berbisik. Namun bisikannya masih terdengar oleh Derry. Si Ibuk merungut. Mulutnya masih komat-kamit karena pendapatnya tidak diterima oleh suaminya dan Pardi.
Tak lama, di kejauhan, terlihat ada kapal yang mendekat. Itu Agus, adik si Pardi dengan 8 orang penumpang kapal di atasnya. Semuanya laki-laki