Setelah berlayar di antara apitan tebing-tebing karang, kapal itu kini mengurangi kecepatan. Ujung buritannya mengarah ke sebuah pulau yang berada agak mengarah kelautan lepas. Pulau itu terpisah sendiri dari gugusan pulau lain. Kedatangan mereka ke sana di sambut lautan dangkal dengan gradasi biru yang membuat netra terpana. Dari atas kapal, mereka dapat melihat jelas isi lautan. Sejenak, mereka terdiam, deru mesin kapalpun ikut senyap tidak terdengar. Pak Ali mematikan mesin, dengan hati-hati kapal itu melewati bebatuan karang. Riko membantu Pak Ali mendorong kapal dengan galah panjang yang ujungnya ditekan ke dasar laut dangkal. Senyap itu hanya sementara. Sekejap saja, pekikan takjub keluar dari mulut Wanda dan Ria.
“Gilaaa …. Keren banget, ko. Kita mampir di sini dulu kan?” tanya Wanda dari ujung buritan
“Yihaaa … poto-poto!” Susul Ria tak kalah senang. Aji, tersenyum meringis, mengingat beban tugas yang akan diembannya nanti. Memoto setiap pose mereka.
“Ini yang namanya Pulau Bunian?” tanya Derry sambil menoleh ke arah Riko. Riko mengangguk.
“Kalau kampung kapo-kapo itu di mana?” tanya Derry lagi
“Kamu lihat di seberang sana. Itu kampungnya.”
Derry mengikuti arah telunjuk Riko yang menunjuk ke arah timur. Tampak gundukan perbukitan samar yang tertutup kabut. Pulau itu terlihat besar, dari bias membiru kehijauan, dapat dihitung berapa lama waktu tempuh untuk ke sana. Sekitar 40 menitan.
“Kenapa kita ngga ngecamp di sini? Tadi gw denger, bapak-bapak yang nganterin bensin ke rumah Pak Ali. Kapalnya di sewa untuk Camping di sini, loh Ko.”
“Janganlah Der. Aku ngga ngerti medannya, di sini," jawab Riko yang sedang meringkuk, berjalan, menuju ujung kapal tempat teman-teman yang lain berada.
Derry menatap gundukan perbukitan hijau dihadapannya. Perbukitan itu, membentuk siluet yang menurut Derry, terlihat aneh. Siluet perbukitan di Pulau itu membentuk tubuh manusia yang sedang tidur telentang. Dia jadi teringat film yang ditontonnya seminggu yang lalu bersama Erick. Film Life Of Pi, salah satu adegan di film itu, sang tokoh menepi di sebuah pulau yang diisi oleh merkat. Jika siang pulau itu memberi kehidupan, dan ketika malam, pulau itu berubah mencekam. Bentuk pulau itu mirip seperti Pulau Bunian yang kini ada di hadapan Derry. Dia bergidik ngeri dengan visualisasi yang dirangkai otaknya. Entah memang nyatanya seperti itu, atau dia sedang mengada-ngada. Derry dirundung pertanyaan besar. Tak mau bergelut sendiri dengan fikirannya yang aneh, Derry beringsut ke belakang kapal, tempat Pak Ali berada.
“Pak, Aku boleh bertanya? Semoga ini perasaan ku saja, yah. Menurutku, kok bentuk Pulaunya seperti orang lagi tidur, gitu.” tanya Derry penasaran. Derry menunjuk bagian-bagian pulau yang menurutnya mirip manusia tidur untuk menguatkan opininya.
Pak Ali terkekeh menanggapi Derry yang dengan antusias menunjuk gundukan perbukitan pulau itu. Suara Bapak itu terdengar serak, khas suara perokok berat. Senyumnya tertarik membentuk guratan-guratan karena usia. Dari gelagatnya, dia seperti setuju dengan apa yang dikatakan Derry.
“Iya nak. Masyarakat sini, menyebut Pulau Bunian ini dengan nama Gadis Terbujur.”
“Gadis Terbujur? Ih, ngeri juga namanya pak.” ujar Derry antusias. Sekaligus senang karena dugaannya tidak mengada-ngada.
“Hanya nama. Karena bentuk gundukan pulaunya. Tak ada perlu ditakutkan di sini. Yang pasti, kalian berhati-hati saja. Kalau mau berenang. Di laguna ini saja. Ngga usah nginjak pasir pulau itu.” Jawab Pak Ali setenang mungkin. Menyembunyikan raut takut diwajahnya. Dan Derry dapat membaca gurat ketakutan itu.
“Iya pak. Tadi, istri bapak juga berpesan seperti itu juga.”