Bau lembab dedaunan menyergap indra penciuman; saat mereka menebas semak-semak tinggi yang menghalangi jalan. Ranting-ranting kering terdengar berderak saat terinjak. Langkah mereka sangat hati-hati, meraba-raba mencari pijakan yang tepat.
Bulan bersinar temaram, cahayanya menyelinap di antara tirai-tirai dahan. Semakin jauh mereka berjalan, semakin mereka menemukan kehampaan. Dahan-dahan kayu semakin lebat. Tenaga mereka terkuras untuk menebas. Hutan itu terlalu rapat, jelas sekali tidak ada tanda-tanda jalur itu pernah dijejak. Penyisiran mereka sia-sia. Derry menghentikan langkah. Teman-teman yang berjalan di belakangnya mengikuti gerak Derry.
“Kenapa Der?” tanya Riko.
Derry mengatupkan bibirnya. Matanya memancarkan keraguan. Kali ini, dia yakin bahwa jalur yang mereka ambil untuk menyisir hutan adalah jalur yang salah.
“Kita balik aja, yuk. Kita keluar lagi, dan menyisir dari sisi yang lain,” saran Aji.
“Ide bagus,” sahut Riko.
Derry mengangguk setuju. Mereka memutar badan. Menikam jejak yang mereka lalui tadi. Kini, setelah berputar arah, Wanda yang awalnya di belakang; kini berada di bagian paling depan. Memimpin barisan. Langkahnya terlihat ragu-ragu saat mencari jalur keluar hutan.
“Riko, lu pindah ke depan,” ucap Wanda pasrah. Saat tidak menemukan jejak perjalanan mereka. Pencahayaan yang minim dari api obor, membuat Wanda kesusahan menghapal jalur. Kiri kanan jalan terlihat sama saja, hanya semak dan kegelapan hutan.
Riko berpindah ke depan.
Lelah mulai menyerang. Dahaga dan lapar menyiksa mereka. Baju renang berbahan spandex yang tadi sempat mengering, kini kembali basah oleh keringat. Derry sempat mengamati semak-semak di sepanjang perjalanan mereka. Bentuknya sama, seolah-olah mereka hanya berputar-putar di sekitaran situ. Malam semakin pekat, namun mereka tak jua menemukan jalan ke luar hutan. Derry mulai dirundung ketakutan. Dari tempat mereka berdiri sekarang, suara deru ombak tedengar semakin samar bahkan menghilang. Berganti menjadi nyanyian serangga malam yang didendangkan ke gendang telinga mereka.
Seperti nyanyian kematian.
Derry mengaduh. Jalannya terpincang-pincang. Langkah kakinya terseok karena menahan perih yang menjalar dari telapak kakinya yang telanjang. Sebelum berenang tadi, Derry menanggalkan sendal dan meninggalkannya di kapal. Dia mencebur ke air dengan sepatu katak di kakinya. Sepatu khusus untuk menyelam. Ujung sepatu itu memiliki sayap, fungsinya untuk mengayuh agar bisa berenang lebih cepat. Tentu saja sepatu itu tidak bisa digunakan untuk berjalan di darat. Berbeda dengan teman-teman yang lain. Mereka tadi berenang menggunakan sendal gunung bertali. Sehingga, mereka tidak merasakan tajamnya ranting kayu menggores tapak kaki.
Aji yang berjalan di depan Derry mendengar dia mengaduh. Aji menoleh kebelakangnya. Dari pendaran api obor, Aji dapat melihat wajah Derry yang meringis.
“kenapa, kak?” Tanya Aji sambil menghentikan langkahnya. Wanda dan Riko ikut berhenti dan menoleh ke belakang.
“Ngga apa-apa, yuk lanjut,” Derry berusaha tegar. Padahal, perih di kakinya semakin menghujam.
“Aww!” pekik Derry. Bibirnya mendesis, perih di kakinya semakin menjadi. Dia menelan ludah kemudian meminta teman-temannya untuk berhenti sebentar.
“Lu kenapa?” Riko datang mendekat.