Nun jauh di dalam hutan, si Bunian berselimutkan kabut hitam. Malamnya pekat, siangnya temaram seperti senja hari. Matahari seperti enggan memberikan belaian sinar. Di dalam kelam itu, Rakai bersimbah peluh, ia tengah bergumul di atas tubuh gundik ke sembilannya. Setiap malam ia menggilir, melepas birahi yang mendesak untuk dipuaskan.
Rakai mendengus kesal, amarahnya mencapai pucuk kepala kala Turoh menggedor-gedor pintu rumah.
"Tetua … tetua … dia mati!" racau Turoh di balik daun pintu. Suaranya gusar dan bergetar. Kabar yang dibawanya tentu saja akan membuat Rakai murka.
Di balik cahaya yang minim, Turoh dapat melihat kilatan kesal sang Kepala Kampung. Dia menunduk menyembunyikan rasa bersalahnya. Namun bukan Rakai namanya jika tak ringan tangan. Jangankan berita buruk, berita baik saja kadang membuatnya kesal. Dengan satu kali hantaman kaki kanan, Turoh terpelanting ke halaman. Rakai tak tanggung-tanggung mengerahkan tenaga jika sudah murka. Turoh meringis memegang perutnya yang ngilu setelah menerima hujaman tendangan Rakai.
"Kenapa bisa mati? Tak kau jaga dia?" erang Rakai geram. Dengan kasar ia membanting pintu dan pergi menuju sebuah rumah panggung yang tak jauh dari situ.
Sesampai di rumah, Rakai mencium bau anyir. Darah merembes membasahi lantai. Seorang perempuan tengah terbaring, dengan perut berlobang. Kepalanya hancur tercabik-cabik. Seharusnya tak sampai seminggu lagi, perempuan itu akan menghadirkan tangis bayi ke Kampung Bunian. Bayi suci yang akan menjadi harapan kehidupan. Namun, alih-alih terlahir, kini bayi itu telah lenyap. Berpindah ke dalam perut Sibigau yang kelaparan.
Rakai menjambak rambutnya kesal. Dia meracau mencaci maki. Menghajar daun pintu yang tak bersalah sampai daun pintu itu terpelanting ke halaman rumah.
"Turoh … Kurai … bangunkan mereka. Kita ke hutan sekarang juga." Rakai memberi perintah. Kampung Bunian grasak-grusuk bersiap ke hutan, mereka akan berperang melawan hantu hutan yang kerap menebar teror di saat malam menjelang.
Hutan Bunian tak jauh dari Kampung. Sehingga Sibigau yang tak berakal sering masuk ke kampung mereka. Mencuri persediaan daging buruan mereka, menyetubuhi perempuan-perempuan yang tidur sendirian dan yang baru saja terjadi malam ini, mereka memakan janin suci yang sangat dinantikan kehadirannya oleh Kampung Bunian.
Rakai murka alang kepalang.
Setiba di hutan, mereka membuat gaduh. Bersorak sorai dan memukul-mukul pohon dengan parang, untuk memancing agar Sibigau-sibigau itu keluar. Mereka sengaja mengusik. Sibigau sangat membenci suara kegaduhan. Mereka keluar dari sarang bersama kawanan babi-babi. Mengendus keributan kemudian akan semakin geram jika pembuat gaduh itu tak kunjung angkat kaki dari hutan.
Desau angin yang tiba-tiba kencang meniup dahan hingga uyung. Derap langkah dan dengusan napas memburu memenuhi hutan. Pertanda Sibigau telah siap untuk menyerang.
Rakai sebenarnya gentar berhadapan dengan Sibigau. Namun hantu hutan yang tak kenal kompromi itu harus dikurung di dalam hutan agar tak seenaknya berkeliaran ke kampung.
Rakai mengincar Kepala Sibigau. Kepala Sibigau yang terpenggal akan diletakan di mulut hutan, dipancang dengan tombak. kemudian dimantrai dan dikunci agar Sibigau-sibigau itu tak lagi memasuki kampung, sehingga, perempuan-perempuan yang dipaksa hamil itu akan aman dari terkaman. Sibigau akan terkurung selamanya di dalam rimba belantara. Tempat di mana semestinya mereka berada.
Pertempuran malam itu sengit. Kampung Bunian memenangkan pertempuran. Beberapa kepala berhasil dipenggal. Sibigau-sibigau yang lain dipukul mundur kala Rakai memamerkan kepala-kepala itu. Nyali Sibigau-sibigau itu menciut. Meski menyerah karena takut, sampai kapan pun mereka akan menyimpan dendam kepada Kampung Bunian.
****
Wanda dan Riko menyusuri jalan setapak, mencari perkampungan. Sisi kiri dan kanan jalan menggantung lampu pijar, membuat jalan itu benderang. Meski terang, jalanan itu tetap saja lengang, tak satupun manusia berlalu lalang kecuali mereka berdua. Apakah karena sudah terlalu larut?
Saat diperjalanan, Wanda dan Riko mendengarkan langkah kaki mengikuti mereka. Awalnya terdengar jauh, kemudian mendekat. Bunyi kerikil bersentuhan dengan alas kaki. Sontak keduanya menoleh kebelakang mengikuti sumber suara. Namun, tidak ada siapa-siapa.
Wanda mengangkat bahu. Sama bingungnya dengan Riko. Mereka yakin tidak salah mendengar, hanya saja, jalanan itu tetap saja kosong. Mereka melanjutkan langkah kembali untuk menyusuri jalan agar secepatnya mencapai perkampungan.
Lagi-lagi, langkah kaki terdengar kembali persis di belakang mereka. kali ini ini mereka tidak akan salah dengar. Langkah kaki itu terdengar berderap, mungkin dua atau tiga orang lebih. Benar saja, saat mereka menoleh, mereka menemukan pemilik langkah kaki itu.
Segerombolan Ibu-ibu berjalan berbaris. Ada junjungan di kepala mereka. Seperti bakul yang biasa menjadi tempat makanan untuk seserahan. Bakul-bakul itu ditutup dengan kain hitam bermotif sulaman timbul berwarna keemasan. Ibu-ibu itu mengenakan tunik merah berbahan beludru, dengan bawahan kain jawa yang di sampir hingga ke mata kaki. Sejenis pakaian adat wanita untuk menghadiri pesta di budaya Minang Kabau.
Wanda dan Riko menarik napas lega. Jalanan itu akhirnya ada yang melewati. Riko bersemangat menghampiri ibu-ibu itu untuk bertanya. Namun, rombongan ibu-ibu itu berlalu begitu saja tanpa menoleh ke arahnya. Beberapa kali Riko memanggil, tetap tidak satupun dari ibu-ibu itu menggubris. Ibu-ibu itu terus berjalan di dalam barisan rapi dengan wajah datar dan tatapan yang kosong.
“Permisi, Buk.” Riko menyapa lagi. Sapaannya seperti angin lalu. Tidak seorangpun memberi respon, Melihat itu, Wanda turut melakukan hal yang sama. Menegur ibu-ibu itu satu per satu.
“Buk … Buk.” Wanda berjalan setengah berlari mengikuti barisan ibu-ibu yang semakin menjauh. Tak satu jua yang mendengarkannya. Seolah mereka berdua tak kasat mata
“Aneh!” Riko mendengus kesal.
“Emangnya kita hantu? Dipanggil-panggil cuek aja.” Wanda tak kalah kesal.