HILANG DI BUNIAN

Shira Aldila
Chapter #11

Menunggu Ajal

   Pelarian mereka terdesak ke dinding hampa. Aji memijak angin, sehingga tubuhnya oleng ke depan. Derry yang dia pegangi juga mengikuti arah ambruknya tubuh Aji. Kedua tubuh itu kini berguling ke dasar jurang, tanpa mampu melawan tarikan gravitasi. 

   Ranting kayu berderak dihantam tubuh mereka yang terguling tiada henti. Bunyi berdebam terdengar saat tubuh tak berdaya itu menghantam pohon dan batu. Derry merasakan pinggangnya remuk setelah menghantam sesuatu. Wajahnya terosoh tanah. Ranting-ranting tajam serta merta membuat sobekan di wajah. Benturan demi benturan silih berganti meremukan tulang-tulang mereka. Akhirnya, pergulatan itu berhenti. Tubuh mereka berdebam menghantam dasar jurang. Aji membentur batu, kepalanya retak menyemburkan darah. Tubuhnya bergeming, dia tidak memperlihatkan tanda-tanda kehidupan lagi. Wajahnya bersimpah darah karena luka parah di kepala. 

   Aji kehilangan kesadaran.

   Derry mengangkat tubuh, namun gagal, dia tidak mampu merasakan tubuhnya lagi. Tungkai kakinya lumpuh. Badannya remuk redam hingga tak sanggup berdiri tegak. Separuh tubuhnya terbenam di sungai kecil yang dangkal. Dingin air menusuk seperti jarum hingga ke tulang. Netranya memandang dengan samar. Pandangannya kabur untuk mengenali tempat itu, kepalanya teramat pengar. Tidak ada pohon-pohon tinggi dengan dahan lebat yang menghalangi cahaya bulan. Langit terlihat jelas dari tempat dia terbaring. Bulan sedang bersinar penuh. Pendaran cahayanya mampu menerangi dasar jurang. Derry melihat tubuh Aji yang bergeming sedari tadi. Dia memanggil-manggil dengan suara yang lirih. Suaranya tercekat, tumbukan keras di dada membuatnya tak mampu mengeluarkan suara. 

   “Ji … bangun Ji!” Derry mendesis. Teriakannya terdengar seperti bisikan. Sekuat tenaga, Derry menggerakan tubuh. Menyeret tubuhnya untuk mendekati tubuh Aji. Dia mengguncang-guncang tubuh itu, tidak jua mendapat respon. Tubuh itu kaku, meringkuk memeluk tanah. Derry memegang leher Aji, masih ada denyut tapi lemah. Derry gusar. Ketakutan merayap di jiwanya. Apa yang bisa dia lakukan kini? Tubuh lemah tak berdaya terdampar di dalam belantara yang sama sekali tidak dikenalinya. Di mana Riko dan Wanda? Apakah mereka tidak akan menyusul kami ke sini? Derry membatin. Dia sangat mengharapkan dua sahabatnya itu datang membawa bala bantuan. Namun, itu adalah sesuatu yang mustahil. Bisa jadi, Wanda dan Riko juga bernasib sama dengannya. Terjebak di suatu tempat di sisi lain hutan. 

   Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menunggu datangnya ajal. Mungkin nyawanya akan berakhir di tangan hantu mengerikan dengan babi-babi itu, atau mungkin saja binatang buas yang tengah lapar. Ataunya lagi, dia mungkin akan mati secara perlahan karena kehabisan tenaga. Dia tidak mampu lagi memikirkan sebuah keajaiban. Hanya mampu memikirkan bagaimana caranya dia mati nanti.

    Derry menatap langit malam. Siluet awan hitam membentuk lengkung wajah Erick. Samar, angin meniup gumpalan itu membentuk siluet lain. Membentuk wajah kedua orang tuanya. Kemudian berubah lagi membentuk wajah-wajah lain, wajah-wajah orang terkasih yang akan tersedu mendengar kabar kematiannya. Derry menikmati pergantian siluet-siluet awan itu, seperti sedang memutar album memory di otak untuk melipur lara yang mendera. Namun, dia tersentak, siluet awan hitam itu berubah bentuk menjadi wajah seseorang. Wajah yang sangat nyata. Ada seseorang kini berdiri tepat di atas kepalanya.

   Seseorang itu menatap Derry yang sedang tertidur telentang. Di dalam temaram, Derry dapat menangkap wajah pria misterius itu. Wajahnya memancarkan dingin yang beku. Sorot matanya datar tanpa ekspresi. Kepala plontosnya terikat kain hitam yang senada dengan warna pakaian yang dikenakannya. Baju serba hitam, persis seperti pakaian pria yang tadi sore sempat dilihatnya di pantai. Jenggot pria itu panjang terjalin rapi, menjulur hingga ke dada. Tubuhnya mematung seolah sedang menunggu sesuatu.

   Derry tergagap. Mulutnya tak mampu berucap. Tubuhnya terlalu lemah untuk menghadapi bencana selanjutnya. Derry membalas sorot tatapan mata pria misterius itu dengan tatapan nanar. Jikapun dia adalah malaikat maut yang dikirim untuknya, mohon dipercepat prosesnya agar dia segera hengkang dari penderitaan ini. Namun, pria misterius itu tetap bergeming. Dia hanya diam menatap Derry. Tatapannya aneh. Derry tidak mengerti apa maksud pria yang kini berdiri di atas kepalanya itu.

    Di sela-sela senyap. Derry mendengar derap langkah kaki lain. Awalnya hanya satu pasang langkah, kemudian bertambah banyak. Ada manusia lain yang datang. Dasar jurang itu tak lagi senyap. Pria-pria berpakaian seperti serdadu perang zaman penjajahan memenuhi tempat ia kini berbaring. Dua orang di antaranya mengangkat tubuh Aji. Derry hanya mampu menatap ketika tubuh itu diangkat dan dibawa pergi.

    Seorang pria yang lain, mendekat ke arah Derry. Wajahnya terlihat samar. Namun Derry yakin, yang mendatanginya bukanlah malaikat maut seperti yang ia nanti, melainkan sesuatu yang lain. Derry terlalu lemah untuk menerka-nerka. Bahkan, dia pun tak mampu mempertahankan kesadaran. Dia menutup mata. Telinganya tak lagi menangkap suara-suara.

***

Lihat selengkapnya