Setelah ribuan purnama bersembunyi di balik kabut misteri, kini Bunian diserang birahi. Dia menampakan pesonanya kembali meski penuh tipu daya. Dulu, Bunian dikubur paksa. Diasingkan menjadi tempat yang haram untuk dikunjungi. Kengerian di jantung hutannya tak jarang menjadi cerita terseram yang didengungkan, sebagai dongeng pengantar malam. Kisahnya tak pernah tertulis atau diabadikan. Kisah-kisah mistis Bunian hanya direkam diingatan. Lambat laun, rekaman kisah itu dimakan uzur kemudian hilang ditelan zaman.
Tiada lagi yang percaya akan kengerian si Bunian yang gemar menipu mata. Orang-orang menolak percaya tahayul. Kapan maju jika masih percaya dengan sesuatu yang tak bisa diurai nalar. Demikian pemahaman mereka yang sengaja datang ke Pulau Bunian. Juga pemikiran orang-orang kampung sekitar yang mengais rezeki dengan menjual keindahan Bunian kepada wisatawan.
Tidak ada mata yang mampu menolak pesona Bunian. Beberapa bulan terakhir, Si Bunian mendadak mendapat banyak perhatian. Wisatawan datang silih berganti. Foto-foto pesona Bunian bertebaran di lini massa media sosial. Secepat kilat menyebar dari akun ke akun. Dan keindahannya menjadi buah bibir di kalangan para petualang.
Namun, Bunian tetaplah Bunian. Dia tetaplah surga semu penuh perangkap yang berkedok keindahan. Jika tiba masanya, dia akan membuka pintu jebakannya lebar-lebar. Memilih jiwa-jiwa yang diinginkan. Kemudian menyekap jiwa-jiwa itu menjadi peliharaan. Bunian adalah ruang yang tak memiliki pintu keluar, namun gerbang untuk masuk ke jantungnya selalu terbuka lebar.
***
Gendang ditabuh. Seruling dimainkan. Tubuh-tubuh ringkih nan keriput dimakan usia lanjut, meliuk-liuk membentuk tarian yang tak sedap untuk di pandang. Alun-alun desa itu dipenuhi manusia-manusia jompo yang tak sadar usia. Jumlah mereka tak sampai 30-an orang. Namun keriuhan yang mereka ciptakan mengalahkan pesta lajang seorang pangeran. Mereka menari, bernyanyi dan tertawa di dalam kepayang yang memuakan. Tangan-tangan keriput itu terangkat ke atas. Mereka merapalkan puja-puji dalam bait-bait lagu yang mereka nyanyikan untuk menyampaikan rasa syukur atas rezeki yang besar.
Riuh rendah suara mereka mendadak senyap kala sebuah gong di bunyikan. Dari dalam sebuah rumah, seorang perempuan digiring menuju alun-alun. Tubuh perempuan itu dibalut baju pengantin Minang berwarna merah. Sunting emas tertonggok di kepala. Pakaiannya gemerlap namun kontras dengan wajah si perempuan. Wajahnya tak berias, bahkan pucat dan datar. Tatapannya kosong bagai raga tanpa nyawa. Perempuan itu berjalan lamban menuju tahta pelaminan. Dengan patuh, dia mematung duduk bersanding sendirian.
Puluhan pasang mata menatap si perempuan di pelaminan. Ada yang melotot dengan mulut menganga. Ada pula yang menelan ludah karena tak kuasa menahan dahaga. Kehadiran si penganten perempuan di pelaminan, mempermainkan birahi mereka yang telah mencapai puncak kepala.