1946
“Malam ini kita akan meledakan gudang senjata mereka.”
Seorang pria meremas peta di atas meja. Temaram ruangan itu meremang seperti kabut duka yang menyerang Kota Padang. Sudah 28 hari warga kota berkabung atas wafatnya sang Wali Kota karena dihujam timah panas Belanda. Ketika itu, Jepang telah menyerah pada tentara sekutu. Indonesia menyatakan kemerdekaan pada pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1945. Namun Selang setahun, Kota Padang masih di bawah tekanan Belanda. Prajurit Harimau Kuranji geram. Sebagai pejuang, mereka harus mengambil tindakan.
Malam itu, takbir berkumandang menyambut Idul Fitri. Gemanya menutup kegelisahan warga. Melewati Bulan Suci dan hari yang Fitri bukanlah hal yang mudah di masa itu. Kegembiraan bisa berubah menjadi duka dalam sekejap, kala serdadu Belanda tiba-tiba menyergap.
Prajurit Harimau Kuranji mengendap di dalam gelap menuju gudang senjata Belanda di Rimbo Kaluang. Misi mereka adalah untuk mencuri senjata dan meledakan gudang itu. Di Bawah pimpinan Letda Abdul, 16 pemuda tanggung umur, berjihad untuk bergerilya melawan Belanda.
Di dalam selubung riuh takbir, martil-martil menghentak bumi Padang dengan gunggungan bunga api memerahkan langit. Pertempuran tak terelakan. Misi mereka diketahui Belanda. Peluru-peluru panas menembus tulang. Granat dilempar untuk mencabik-cabik tubuh nahas yang terkena ledakannya. Malam takbir Idul Fitri tahun itu berubah suram. Perjuangan telah merenggut banyak nyawa. Namun Belanda masih menang banyak.
“Mundur … mundur … .”
Teriakan parau membahana dari seberang Banda Bakali. Tangannya melambai memberi komando kepada pasukan untuk meninggalkan medan pertempuran. Mereka telah kehabisan amunisi. Sebagaian pejuang sudah tergelatak tak bernyawa. Mereka harus mundur karena kekurangan tenaga.
Abdul melompat ke perahu yang terikat di Banda Bakali. Di susul Hakiki, Roni, Irvan dan Dewa. Dari 16 orang, kini mereka hanya tersisa berlima. Mesin kapal buatan jepang itu meraung membelah Banda Bekali kemudian menembus muara. Mereka terbebas dari kejaran Belanda. Kapal itu membelah lautan menuju ke Selatan, mereka lari mencari tempat yang aman.
Persis di perbatasan perairan Kota Padang dan Tarusan. Kapal mereka kehabisan bahan bakar. Dengan terpaksa, mereka menepikan kapal di sebuah Pulau di tengah lautan. Di dalam pelarian, mereka dapat merasakan pesawat tempur Belanda menari-nari di atas lautan. Tidak ada pilihan, mereka harus sembunyi ke jantung hutan.
***
Abdul merasa hidupnya terlalu beruntung. Terlepas dari kejaran Belanda, kini dia di sambut hangat oleh penduduk kampung di Pulau itu. Dengan pakaian cokelat kepahlawanan, Abdul dan teman-teman mendapat layanan bak tamu istimewa. Kampung itu melenakannya, hingga lupa untuk kembali pulang.
“Gadis di sini cantik-cantik,” bisik Hakiki yang sedang menyantap hidangan di rumah tetua kampung, Rakai.
Abdul mengulum senyum. Matanya tak lepas melirik perempuan yang tersenyum malu-malu saat menghidangkan makanan di gelaran jamuan. Perempuan itu mengedip manja, Abdul menangkap sinyal yang menggairahkan itu.
Dewa dan Irvan telah duluan selesai makan. Dia tak lagi berada di rumah tetua. Mereka berdua bertandang ke alun-alun desa. Tentu saja pergi ke sana untuk menggoda kembang-kembang desa.