“Waalaikumsalam,” sambut Yuni dengan senyuman hangat saat membuka pintu, meninggalkan kenyamanan ranjangnya yang meski tidak terlalu empuk, tetap menyimpan kenangan manis tidurnya.
Langkah Yuni meluncur dengan ringan, membawa langit-langit kamar yang dipenuhi suara alam menjadi saksi akan kehadirannya.
Sambil menguap dengan santai, Yuni bergerak menuju pintu, merayapi ruang dengan langkah kakinya. Pintu itu pun terbuka, gemuruh kecil yang seperti melodi selamat pagi.
Ceklek! Suara pintu terbuka menggema di ruangan, menyapa suasana dengan keceriaan pagi. Sebuah kejutan menghampiri Yuni, seperti embun pagi yang menari-nari di ujung rumput.
“Eh, mas Arif. Pagi sekali mas kemari,” ujar Yuni, suaranya yang lembut seperti seruling yang menyapa pagi. Matanya memandang ke arah belakang, seolah mencari sesuatu di belakang Arif.
“Sendirian aja, Mas?” Tanya Yuni lagi memastikan.
“Iya, mas kemari mau mencari mbakmu, apakah Rini datang kemari?” tanya Arif sambil membiarkan matahari pagi mencium wajahnya.
“Loh, bukannya kemarin setelah resepsi selesai mbak Yuni langsung ikut mas Arif? Mbak nggak ada di sini,” timpal Yuni, membuka kejernihan memori yang seakan mengejar waktu di kepalanya.
Namun, dalam seketika keceriaan pagi itu, Yuni mulai merasakan gejolak di perutnya. Berita yang dibawa Arif menggetarkan hati, memunculkan kegelisahan di dalam dada.
“Iya, memang kemarin mbak kamu ikut mas pulang ke rumah kami. Tapi, ketika kami hendak tidur, mas memergoki mbakmu sedang asyik berchatting dengan mantannya. Sebagai suami yang prihatin, wajar jika mas menegur mbak kamu. Setelah itu, mas kembali tidur dengan harapan semuanya akan baik-baik saja. Tetapi, ketika matahari menyapa pagi, Rini malah tidak ada di rumah. Mas pikir dia mungkin pulang ke sini, karena marah pada mas atas kejadian tadi malam. Itulah sebabnya mas datang menyusul untuk mengajaknya pulang,” ungkap Arif dengan ekspresi serius, suaranya seolah menggiring pendengaran Yuni.
Yuni menautkan kedua alisnya mendengar pengakuan Arif yang mengejutkan. “Mbak Rini tidak kemari,” sahut Yuni dengan suara yang penuh kebingungan.
“Kamu tidak berbohong kan, Yun?” Arif balik bertanya dengan tatapan tajam, menciptakan ketegangan di udara.
“Untuk apa Yuni berbohong, Mas. Jika mas tak percaya, silahkan mas periksa di dalam!” tantang Yuni dengan penuh keyakinan, seakan mengundang Arif untuk mengungkapkan kebenaran yang tersembunyi.
Tanpa ragu, Arif segera melangkah masuk ke dalam, langkahnya penuh ketegangan seiring dengan detak waktu yang semakin mempercepat denyutnya. Dengan penuh konsentrasi, ia memeriksa setiap ruangan di dalam rumah itu, seperti seorang detektif yang mencari petunjuk dalam kasus yang semakin menggantung.