Yuni merenung sejenak, pandangannya yang penuh rasa khawatir mencerminkan kegelisahan yang melingkupi hatinya.
“Yuni nggak tau. Bu, Yuni takut terjadi sesuatu sama mbak Rini,” serunya dengan suara gemetar, seolah menciptakan aura kegelapan yang merayap di sekitar mereka.
Di tengah rasa khawatir, tiba-tiba kilatan mimpi buruk menyelinap ke dalam benaknya. Yuni teringat dengan jelas akan mimpi yang menghantuinya semalam.
Setiap detail terasa nyata, membuatnya merasakan getaran ketakutan yang sulit dijelaskan. Dalam mimpinya, Yuni bahkan mendengar suara permintaan tolong yang datang dari sosok yang menyeramkan, memecah hening malam dengan seram.
“Bu, apa mbak Rini baik-baik saja? Yuni jadi teringat-ingat dengan hantu yang datang di mimpi Yuni, apa mungkin itu beneran mbak Rini Buk?” tanya Yuni.
“Hust. Jangan ngomong begitu, Yun,” seru Bu Laras dengan suara tegas, seolah menciptakan pagar pertahanan untuk mengusir gelisah. “Mungkin Arif sudah bertemu dengan Rini sebelum tiba di sini. Makanya mereka langsung pulang,” tambahnya, mencoba menawarkan pikiran positif sebagai benteng terhadap gelombang kecemasan yang merayap.
Yuni mengangguk, mencoba menerima saran ibunya sebagai pelipur lara. “Oh iya, bisa jadi sih bu,” ujarnya dengan nada yang berusaha menenangkan hati sendiri.
Namun, meskipun mencoba mengakali kekhawatirannya, mata Yuni masih mencerminkan keraguan yang menghantui. Seolah mencoba meraih benang kusut di tengah ketidakpastian.
Dengan ekspresi cemas di wajahnya, bu Laras menggulirkan saran pada Yuni, “Coba kamu telpon Rini, tanyakan dimana dia. Mumpung lagi di pasar, sinyal bagus. Kalau dirumah kan nggak ada sinyal. Tanyakan dimana keberadaanya saat ini.”
Yuni mengangguk setuju, “Ah, iya, kok Yuni nggak kepikiran,” sahutnya, sambil meraih kantongnya untuk mencari ponsel android yang seharusnya selalu bersamanya. Namun, setelah beberapa saat menggali, raut wajahnya berubah menjadi bingung. Ponsel yang seharusnya menemani setiap langkahnya tak dapat ditemukan.
“Ya ampun Bu! Sepertinya ponsel Yuni ketinggalan di rumah, soalnya tadi Yuni buru-buru kemari,” jelas Yuni, menghembuskan napas frustasi.
Bu Laras menggelengkan kepala dengan simpati mendengar penjelasan putrinya barusan. “Gini aja Yun, coba kamu ke warung bu Tati pinjam ponsel Jaka untuk menghubungi nomor mbakmu, tapi kamu inget nggak nomornya Rini? Kalau lupa ibu ada catatannya,” kata Bu Laras, mencoba memberikan solusi.
“Ingat Bu, Yuni ke sebelah dulu, mudahan Jaka ada,” ucap Yuni, sambil bergerak dengan langkah cepat menuju warung Bu Tati.
Yuni telah tiba di warung bu Tati yang berada di sebelah warung ibunya. “Misi bu Tati, Jakanya ada?” tanya Yuni setelah tiba di toko sebelah.
Bu Tati tersenyum ramah pada Yuni kemudian memberikan jawaban. “Jaka? Ada tadi,” jawabnya sambil celingak celinguk mencari keberadaan putranya. “Jaka! Sini, ada yang nyariin kamu!” teriak bu Tati memanggil anak bujangnya yang ternyata sedang menyiapkan pesanan langganannya yang hendak di antarkan.
Tak perlu menunggu lama Jaka pun langsung menghampiri ibunya. “Ada apa Bu?” tanya Jaka, sesekali ia melirik ke arah Yuni.
“Itu ada Yuni nyariin kamu,” seru bu Tati sambil menunjuk dengan jari jempolnya kearah dimana Yuni berdiri.
Jaka yang penasaran langsung mendekati. “Eh ada, Yuni. Ada apa nyariin saya?” tanyanya dengan ekspresi heran.
Yuni, yang tampak agak terburu-buru, menjelaskan dengan ramah kepada Jaka, “Anu, Jak, aku mau pinjam hp kamu buat nelpon mbak Rini, hp aku ketinggalan dirumah, kamu tahu sendiri kalau di kampung kita itu susah sinyal.” Yuni menambahkan, “Nanti biar aku ganti pulsanya jika sudah selesai menelpon mbak Yuni.”
Jaka tersenyum mendengar ucapan Yuni barusan. “Eh, nggak usah di ganti, Yun. Pake aja.” Ia merogoh hp di sakunya dan memberikannya pada Yuni. “Ini,” ucap Jaka sambil tersenyum ramah.
Yuni pun dengan cepat meraih hp yang terulur dari Jaka. “Makasih, Jaka. Aku pake dulu ya sebentar,” ucapnya sambil tersenyum lega.