Matahari sudah menggeliat malu-malu ketika Siena tiba di gedung perkantoran Jayachandra Media. Ia mengikat rambutnya dengan cepat. Mengecek kembali pakaiannya yang ia harap tidak terlihat lusuh. Derap langkahnya terasa begitu bergema, memenuhi seluruh rongga ruangan. Belum ada siapa pun yang datang, bisiknya dalam hati. Tidak ada siapa-siapa. Rupanya, masih terlalu pagi bahkan untuk membersihkan toilet seperti pekerjaannya tiap pagi. Ia membuka pintu dan masuk ke dalam toilet. Tangannya dengan cekatan mengambil peralatan kebersihan yang menggantung di balik pintu. Beralih ke cermin, ia merasa ada suatu hal yang janggal. Ada percikan darah di situ serta sebuah catatan dengan tulisan: hati-hati, sebentar lagi seseorang akan hilang.
Siena bergidik. Ia menghela napas cepat. Tidak ada waktu untuk berpikir lebih lama. Ia kemudian mulai mengambil lap dan pembersih kaca. Pelan tapi pasti. Siena mulai memutar lap searah jarum jam. Entah sudah pukul berapa. Jangankan darah, membersihkan kotoran pun ia pernah. Ia tidak punya pilihan, apalagi kompensasi untuk memilah-milih pekerjaan yang ia inginkan. Ia memilih untuk mengambil secarik kertas itu dan menyimpannya di balik kantung. Bergidik sendiri dengan pagi yang begitu berbeda ini.
Tapi, percikan darah apa ini, bisiknya. Masih dalam hati. Tidak ada satu orang pun yang bisa ia tanyakan.
Bunyi pembersih kaca mulai terdengar. Menuruti protokol kebersihan, ia juga menyemprotkan disinfektan di setiap beda di toilet: kaca, handryer, dan keran. Beberapa kali, Siena mendengarkan suara lap yang bergesekan dengan daun pintu. Gadis berambut panjang lurus segera masuk ke dalam kubikel toilet. Hatinya masih saja bimbang mempertanyakan percikan apa itu. Tapi, lebih baik untuknya jika tidak ada seorang pun yang melihat percikan itu kecuali dirinya. Dengan demikian, ia bisa bebas dari pertanyaan basa-basi apa pun.
Lalu, apa maksudnya dengan sebentar lagi akan ada seseorang yang hilang?
“Tisu habis, Na?” perempuan dengan rambut lurus panjang itu bertanya padanya dengan tatapan datar. Siena terperanjat. Tidak habis pikir bahwa ternyata ia sudah tidak sendirian lagi di toilet. Ia terkejut sendiri karena tidak biasanya Aricia berbicara padanya. Sekretaris orang nomor dua di Jayachandra Media itu bahkan hampir tidak pernah bicara dengannya.
Siena mengangguk polos. Dalam hati ia menggerutu, kenapa pula ia bisa lupa mengambil stok tisu untuk toilet pagi ini. Bisa jadi pagi ini Siena datang lebih awal, tapi rupanya ada pula yang datang lebih pagi darinya. Aricia hanya mengangkat bahu lalu segera masuk ke kubikel. Dari sorot matanya, Siena merasakan ada sesuatu yang coba dipendam Aricia. Apa pun itu, kembali Siena berharap Aricia tidak harus melihat percikan darah dan catatan di cermin tadi pagi.
Aricia terdiam di dalam kubikel. Siena melanjutkan pekerjaannya dengan mulai mengelap sisi kiri wastafel yang terlihat basah. Hening menyelimuti mereka berdua. Tidak banyak kata terlintas di antara mereka. Siena pun sadar perempuan sekelas Aricia belum tentu ingin mengajaknya mengobrol.
Aku lelah, Siena bergidik. Ia paham betul Aricia tidak mengucapkan sepatah kata apa pun, tapi dengan jelas ia bisa mendengarkan dua kata yang dilontarkan oleh Aricia barusan. Lelah kalau harus berpura-pura tidak ada apa-apa dengan Kiev. Harus berapa lama lagi aku menunggu?
Siena nyaris ingin tergelak. Entah sudah berapa lama sejak ia terakhir kali merasakan rasa gundah gulana seperti yang diucap oleh Aricia barusan. Tunggu. Kiev, batin Siena, koordinator liputan yang sebenarnya sudah beristri itu?
Suara flush dari toilet mendadak terdengar. Siena terhentak. Jangan sampai Aricia menyadari bahwa ia tengah terheran-heran dengan pernyataan yang baru saja dipikirkan oleh perempuan itu. Keran terbuka. Air mengucur dengan pelan. Keduanya hening. Siena mulai menyibukkan diri dengan mengelap kaca toilet searah jarum jam.
Aricia mengernyitkan keningnya. Ia kemudian melipat kedua tangannya. Sebentar kemudian, ia menggigit bibirnya. Gadis bermata hitam yang terbingkai kacamata itu kemudian mengibaskan rambut hingga mengeluarkan aroma mawar yang seketika memenuhi ruang toilet. Belum sempat Siena berpikir dimana ia bisa menemukan pengharum ruangan dengan aroma seperti ini, ia sudah mendengar Aricia berkata pelan namun meyakinkan, “Di situ tadi aku lihat darah, Na.”
Siena terhentak. Rupanya, bukan hanya ia yang menyadari bercak darah itu. Aricia kemudian menyentuh sudut bawah kaca dengan jemarinya yang panjang lentik. Siena tidak habis pikir, berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh gadis itu merawat jemarinya tiap minggu. Pelan, Aricia menyentuh sudut kaca itu. Siena sudah membersihkannya hingga ia yakin tidak ada bekas lagi di situ.
Aricia menghela napas. Ia menggeleng kepalanya, “Ah, mungkin hanya perasaanku saja.”
Gadis itu lebih terdengar seperti bercerita pada dirinya sendiri ketimbang mengajak Siena berbicara. Pintu toilet kemudian terbuka, membuat Aricia segera melenggang pergi. Siena menggelenggakan kepalanya, lebih memilih untuk kembali melanjutkan pekerjaan memasukkan sabun pada tempat sabun.
Pintu toilet kemudian terbuka. Siena kembali menghela napas. Bagaimana pun, berada satu ruangan dengan Aricia membuatnya tidak nyaman. Terlebih lagi ia baru saja menemukan fakta bahwa gadis itu menyukai Kiev yang sudah beristri serta melihat adanya tanda darah merah di bagian kaca toilet.
“Pagi, Neng Siena.”
Siena menghela napas. Matanya melotot. Rasanya, ia sudah siap menelan orang yang tiba-tiba masuk dalam toilet dan mengagetkannya. Ia kemudian mencubit lengan kokoh itu. Pria itu mengerang kesakitan, “Kamu teh, gimana sih? Sama Aa Gumi meuni galak.”
“Kamu ngagetin aja, A Gumi! Aku kira siapa?” Siena mendesis galak. Hanya pada Gumi-lah ia cukup banyak berbicara. Pria dengan mata hitam yang agak sipit itu kemudian tersenyum. Pagi ini, Gumi hanya mengenakan kaus putih, celana jeans belel, serta waist bag sebagai pertanda bahwa ia pun baru datang. Ia bahkan belum mengenakan seragam.
“Jangan kaget, ah, nanti sayang!” Gumi tertawa. Tidak tahan rasanya melihat Siena marah kepadanya. Ia kemudian berkata pada Siena, “Jangan lupa, abis ini kamu juga mesti bersihin toilet VIP. Toiletnya Ibu Verona.”