Gumi mempercepat derap langkahnya, bagai dikejar setan. Sesekali menengok ke belakang sekedar memastikan tidak ada yang mengikutinya. Butir keringat sesekali membasuhi keningnya. Tapi, tidak ada pilihan lain baginya selain menatap jalan ke depan. Baginya, akan jauh lebih baik jika ia tidak harus menengok ke belakang bahkan untuk sekedar tahu siapa yang tengah mengikutinya. Walaupun setengah mati rasanya perasaan itu mencuat ke permukaan, Gumi memilih untuk tetap tenang karena toh akan jauh lebih baik jika ia tidak mengetahui siapa pun yang berniat untuk mengikutinya. Hari ini masih terlalu pagi bahkan untuk memikirkan hal negatif yang belum tentu akan terjadi.
Ia takut sekali ada yang mengikutinya. Dua orang berbadan tegap yang sempat memelototinya dari jauh. Gumi tidak paham mereka siapa. Setelah yakin sudah agak begitu jauh, ia kembali menengok ke belakang. Sebuah mobil jeep hitam melaju dengan kencang. Begitu kencangnya hingga mampu membuat Gumi berkeringat dingin. Hari masih pagi, lalu apa yang mereka cari? Lagipula, untuk apa ia mengikutinya? Ia bukan orang kaya jadi jelas tidak ada hal menarik yang bisa ia banggakan dari dalam dirinya sendiri.
Gumi mengenyahkan segala jenis pikiran buruk yang menghampiri. Ah, barangkali hanya tamu dari gedung sebelah. Ia selalu mengingat mantra baik yang dikatakan Siena padanya acapkali kecemasan berlebihannya kembali kambuh: all is well. Kecemasan yang tidak jarang membuatnya berpikir berlebihan akan hal-hal yang terjadi sehari-hari. Bukankah ia yang melotot ke arahnya belum tentu berarti memang sedang marah kepadanya?
Senyumnya merekah ketika mulai memasuki kembali Gedung Jayachandra Media. Satpam gedung menyapanya, melihat kantung kresek di tangan kanannya. Wangi nasi uduk bercampur bakwan jagung seketika memenuhi rongga hidung. Si satpam kemudian refleks bertanya pada Gumi dengan logat Betawi yang kental, “Enak bener baunye, Bang! Buat siape? Mbak Aricia apa Bu Verona?”
Gumi tersenyum makin lebar. Jalannya kembali cepat sambil menoleh ke arah satpam gedung, “Ai kamu, teh! Bahasa anak jaman sekarangnya sih: kepo pisan. Ini buat Neng Siena, lah.”
Tidak cukup sulit bagi Gumi untuk menemukan Siena. Gadis itu tengah berada di pantry basah, mencuci sendok dan garpu. Satu hal yang selalu membuat Gumi terkagum-kagum pada Siena: gadis itu selalu melakukan hal yang lebih dari tanggung jawabnya. Matanya terlihat menerawang, sambil menatap dinding. Bahkan, kehadiran Gumi seolah-olah tidak begitu diindahkan oleh Siena.
“Neng Siena, biar Aa Gumi aja yang nyuci,” Gumi berkata sambil tersenyum lebar. Ia kemudian menunjuk kantung plastik putih yang tengah dibawanya, “Ini udah Aa beliin nasi uduk dan bakwan jagung. Mangga dimakan dulu. Udah selesai kan, beresin toiletnya?”
Siena terkesiap. Beberapa detik sempat melihat Gumi seolah-olah Gumi adalah sosok alien yang baru menunjukkan batang hidungnya pada Siena. Segera tersadar, Siena kemudian berkata, “Eh, Aa Gumi. Nggak apa-apa nih? Kita makan bareng aja, kalau nggak.”
“Udah nggak apa-apa.” Gumi tersenyum seraya menyerahkan bungkusan itu pada Siena, “Makan dulu. Siang nanti masih harus ke kampus kan, kamu teh, buat daftar wisuda?”
Siena mengangguk. Ia kemudian beranjak dan mulai mencicipi nasi uduk tersebut. Air keran kembali terbuka, mengantarkan Siena untuk mulai menyisir apa yang terjadi di hadapannya pagi ini. Sesekali Gumi menoleh, mata mereka bertatapan. Siena dengan cepat kembali mendengarkan isi pikiran Gumi, “Siapa, ya, yang membawa jeep hitam tadi pagi?”
Siena tersentak. Jeep hitam apa? Apakah mungkin ada hubungannya dengan kejadian di toilet yang baru saja dialaminya? Tapi, ia jelas tidak bisa semudah itu mengambil kesimpulan. Bisa jadi, Ibu Verona hanya pergi sebentar dengan dua oknum yang ia tidak tahu dengan jelas siapa mereka.
“Neng Siena,” Gumi berkata sembari masih mencuci piring dan sendok. Matanya kembali menoleh menatap Siena, “Aku teh bingung. Kalau nggak kerja di sini mau kerja dimana, ya? Kemarin curi dengar Mba Aricia lagi ngobrol di telefon dengan HRD katanya mau ada efisiensi karyawan.”
Siena menghentikan makanannya sebentar. Kondisi cukup berat tengah di hadapi Jayachandra Media. Bukan hanya kantor ini. Tapi, Jakarta. Indonesia. Dunia.
Penularan virus Covid-19 yang semakin bertambah setiap harinya membuat hari-hari terasa lebih mencekam. Jalanan makin sepi. Pemerintah memperketat aturan tidak boleh beramai-ramai di tempat terbuka. Bandara ditutup. Kondisi terparah, tentu saja mereka yang bekerja di sektor pariwisata. Pendapatan yang semakin minim karena penduduk tidak berniat untuk berpergian. Jayachandra Media yang bergerak di bidang majalah traveling tidak kalah sedikit banyak akan terkena imbas. Setengah dari proporsi karyawan menjalankan split operation dengan sistem bekerja dari rumah dan bekerja dari kantor. Efisiensi yang awalnya hanya digaungkan diam-diam kini mulai terasa nyata. Berawal dari pengetatan sewa gedung, pengurangan jumlah mobil operasional hingga yang terbaru: isu lay off untuk karyawan. Suatu hal yang tadi pagi sempat berputar di pikiran Ibu Verona.
“Belum tentu A Gumi, kok. A Gumi kan office boy favorit.” Siena tersenyum, “Nanti kantor kehilangan office boy penuh canda tawa seperti A Gumi.”
“Bisa aja, kamu teh, Siena.” Gumi tertawa.
Siena juga tertawa. Ia kemudian bertanya pada Gumi sebuah pertanyaan yang sedari tadi seolah hanya tersendat di tenggorokannya, “A Gumi.”
“Ya?”
Siena bertanya pelan namun penuh keraguan, “A Gumi sudah liat Ibu Verona pagi ini?”
Gumi mengernyitkan dahi. Ia kemudian menutup keran dan menyelesaikan sejenak pekerjaan membersihkan piringnya. Ia mengelap tangannya dan kembali menatap Siena, “Belum. Memangnya sudah datang? Bukannya kamu yang tadi dari toilet VIP?”
Siena menghela napas. Dahinya mengernyit. Jangan-jangan hanya dirinya yang baru saja melihat Ibu Verona pagi ini.
“A Gumi tahu, aku curiga Ibu Verona menghilang.”