“Sudah dengar kabar kalau Ibu Verona katanya menghilang?”
Siena terhenyak. Menatap sekilas ke arah dua orang staff Human Resources yang tengah bercermin di toilet lantai dua. Meskipun terbelalak, tapi Siena memilih tetap melanjutkan pekerjaannya mengepel lantai. Dua kubikel toilet masih kosong. Hari sudah pagi sekalipun tidak terlalu pagi. Tapi, pikiran Siena sudah melanglang buana memikirkan bagaimana keadaan Ibu Verona jika beliau benar-benar menghilang.
Salah satu dari mereka mengangkat bahu. Seakan tidak peduli, ia masih tetap memulas bedak dan memoles lipstik di bibirnya yang merekah. Matanya menatap lurus ke arah cermin. Dari pantulan mata yang tidak sengaja beradu dengan Siena yang diam-diam melirik, Siena bisa membaca pikirannya: Ya, setidaknya hal itu belum tentu benar, kan?
“Kalau itu benar, kita bisa saja dalam bahaya.” temannya berkata sambil lanjut menguncir rambutnya yang lurus panjang, “Tentu ini akan jadi berita besar. Apa kabarnya perahu tanpa nahkoda? Cepat atau lambat, efisiensi bisa saja terjadi. Kamu tahu sendiri selama ini Bu Verona mati-matian menolak lay off, sehingga kalau Ibu tiba-tiba menghilang Pak Devon bisa saja langsung menyetujui usulan lay off itu.”
Si pemulas bedak merapikan poninya. Sambil mengernyit, ia menatap temannya, “Artinya adalah?”
“Singkat cerita, kamu bisa kena pecat. Lagi sulit begini, nggak mudah mendapatkan pekerjaan.” Si kuncir kuda menghela napas. Ia kemudian mencuci tangannya dan langsung kembali mengenakan masker, “Jihan, jangan lupa pakai maskernya. Kita harus ekstra higienis melawan Covid-19 ini.”
Pandemi yang bikin gila, Jihan membatin, mau jadi apa aku kalau tidak ada pekerjaan.
Jihan kemudian kembali mengenakan maskernya dan menyusul melangkah keluar mengikuti temannya. Mereka meninggalkan Siena yang berdiri mematung di situ. Bukankah efisiensi sudah mulai dilakukan sejak pandemi Covid-19 dinyatakan resmi masuk ke Indonesia? Lalu, mengapa lay off juga tetap harus dilakukan? Namun yang paling penting dari itu semua: kemana perginya Ibu Verona?
*
Tidak pernah ada sekolah untuk menjadi pemimpin tapi aku bisa melakukan yang terbaik untuk karyawan yang sudah aku anggap seperti keluargaku, Siena teringat bagaimana Bu Verona sibuk mengulang isi pikiran yang sama ini beberapa waktu yang lalu. Waktu itu, Siena masih mengisi ulang tisu di toilet VIP ketika Bu Verona mendekatinya dan menyerahkan sebuah masker padanya.
“Na, pandemi Covid-19 sudah mulai masuk di Indonesia dengan adanya 2 orang WNI yang positif. Cepat atau lambat, pasti ada kebijakan yang terjadi. Apapun yang akan terjadi, kamu harus janji sama saya untuk tetap sehat. Jangan lupa pakai masker ini kemana pun kamu pergi,” Bu Verona menyerahkan sebuah masker kain padanya, “Secara berkala nanti tim HRGA akan memberikan masker untuk kalian semua.”
Siena mengangguk. Bu Verona terlihat begitu perhatian bahkan kepada bawahannya yang sekelas Siena. Ia sempat melihat wajah yang sedikit banyak menyimpan duka itu, menyimpan rasa yang barangkali begitu sulit untuk dijelaskan. Dari matanya, Siena bisa menangkap isyarat, penghentian hubungan kerja tidak harus dilakukan di masa yang sesulit ini.
*
Pagi itu, ruang meeting mendadak seharusnya dipenuhi oleh 5 orang petinggi penting Jayachandra Media. Ada Kiev, Head Koordinator Liputan yang sudah terlihat rapi dengan kemeja putih dan celana chino hitam lengkap dengan sepatu converse-nya. Beberapa kali menyesap kopi susu hangat yang sudah dibuat oleh Aricia tadi pagi. Erwin, Head HRGA, pria berumur kepala empat yang selalu mencoba tenang bahkan di situasi apa pun. Selalu menghisap inhaler terutama ketika menghadapi masa-masa sulit yang memintanya berpikir dalam tekanan.
Lalu ada Karina, Head Finance, yang beberapa kali sibuk berpikir bagaimana caranya mengatasi pandemi yang membuat pendapatan kantor berkurang drastis. Tangannya sibuk sesekali mencatat di notes dan menghitung di aplikasi kalkulator ponselnya. Tidak pernah terpikir sebelumnya, apa yang harus ia laporkan kini pada Bos Besar, Ibu Verona.
Perlahan, pintu ruang meeting terbuka. Setelah mendorong ruang meeting dengan siku, ia kemudian melangkah masuk. Mengenakan kemeja abu-abu dan celana bahan hitam, ia mulai duduk di bagian paling ujung. Derap langkah sepatu pantofel kemudian terhenti ketika pria itu duduk. Dia-lah Devon, Pemimpin Redaksi Jayachandra Media sekaligus anak dari Komisaris Utama Jayachandra Media, Ibu Verona.
“Selamat pagi, semua.” Devon berkata dengan tenang. Tidak lama kemudian menatap Erwin yang hari ini juga merangkap tugas menjadi asisten sorot, “Bisa kita mulai meeting-nya? Win, besok-besok jangan lupa kamu pakai masker. Covid-19 ini bahaya. Pandemi ini kita nggak tahu kapan selesainya.”
Erwin mengangguk. Tidak habis pikir darimana Devon bisa membaca pikirannya, karena baru saja ia berpikir, Wah gawat, kenapa saya lupa pakai masker.
Karina menghela napas. Ia kemudian mulai membuka lagi halaman baru dari notes-nya. Perasaannya bergerak tidak karuan. Bagaimana bisa memulai meeting tanpa adanya kehadiran Ibu Verona? Bukankah Ibu Verona adalah pemegang kendali utama tiap keputusan di kantor ini?
Devon mengangkat telepon di ruang meeting. Tidak lama, ia menekan tombol extension yang menghubungkannya pada seseorang di seberang sana. Setelah nada tersambung, Devon berkata, “Aricia, tolong hold semua dokumen yang membutuhkan persetujuan saya. Saya butuh waktu satu jam full untuk membicarakan kebijakan kantor selama masa pandemi berlangsung. Ibu Verona tidak bisa datang hari ini. Kita juga nggak tahu, kapan Ibu bisa datang. Oke, terima kasih.”
Devon menutup teleponnya. Ia kemudian tersenyum dan menatap Karina, “Berhubung Ibu Verona tidak bisa hadir pada meeting kali ini, bisa kita mulai meeting-nya? Kita butuh bergerak cepat untuk memutuskan kebijakan apa yang akan kita ambil pada masa pandemi ini.”
Karina menelan ludah. Ia kemudian mengangguk dan memilih untuk tidak banyak bicara. Ia kemudian menatap layar proyektor yang sudah terpasang, pikirannya melayang ketika Erwin mulai menjelaskan langkah kebijakan rekomendasi yang sebaiknya diambil oleh perusahaan: menetapkan kebijakan work from home secara full atau split operation yang memungkinkan karyawan untuk hadir dan bekerja dari rumah. Bahkan, untuk jangka waktu yang sangat panjang, bukan tidak mungkin kantor akan memilih untuk menghentikan kontrak karyawan di masa pandemi ini.
Karina terdiam. Pikirannya jauh menerawang. Ia ingat betul bagaimana Ibu Verona tidak ingin ada karyawannya yang harus dirumahkan. Tapi, pertanyaan yang sekarang memenuhi pikirannya justru adalah: kemanakah Ibu Verona sekarang?
*
Siena sudah bersiap untuk mengisi sabun cuci tangan di toilet ketika Aricia melangkah masuk. Susah payah ia mencoba menganalisis: ada apa yang terjadi antara Aricia dan Kiev sehingga Gumi bisa sedemikian khawatirnya kemarin. Rahasia apa yang mungkin terjadi sehingga Gumi memilih untuk tetap bersembunyi agar tidak diketahui oleh mereka berdua.
Aricia mulai membuka keran. Mencuci tangannya dalam keheningan hingga sabun apel itu mengeluarkan busa yang sedemikian banyaknya. Beberapa kali Siena mencoba mencuri pandang dengan melihat Aricia melalui pantulan cermin. Tapi, gadis itu lebih memilih untuk diam dan menunduk. Setelah menutup keran, gadis itu berjalan menuju hand dryer yang terletak di kiri Siena.