Telepon itu sudah diangkat berulang kali. Entah sudah ke berapa kalinya Aricia menghela napas. Bingung. Tidak paham harus berbicara apalagi. Beberapa meeting penting terpaksa dibatalkan atau ditunda. Banyak pihak sudah menawarkan meeting secara daring, agar sekiranya diskusi tentang hal penting masih bisa dibicarakan. Tapi, nihil. Apa yang bisa didiskusikan jika Ibu Verona bahkan tidak diketahui keberadaannya.
“Saya belum bisa memastikan kapan Ibu Verona bisa kembali masuk kantor,” Aricia berkata pelan. Sesekali mengeluh tidak nyaman karena penggunaan masker di wajahnya. Pandemi Covid-19 yang semakin parah. Di saat banyak kantor sudah mulai mempertimbangkan untuk bekerja dari rumah, kantor ini masih terus berada di ambang. Semua karena satu hal: pemimpin yang tidak jelas dimana rimbanya.
“Apakah bisa digantikan oleh Pak Devon?” Aricia bertanya pelan. Sebagai satu-satunya sekretaris direksi di kantor, Aricia merasa agak kewalahan. Berbagai opsi dipertimbangkan termasuk mengajukan nama Devon sebagai pengganti pertemuan penting. Ada yang mengiyakan, namun ada juga yang menolak. Posisi Ibu Verona sebegitu kuatnya hingga sulit rasanya ada yang menggantikan.
Selepas menaruh kembali telefon, Aricia pikir ia sudah bisa bernapas dengan lega. Setidaknya beberapa pertemuan sudah menemukan jalan tengah karena ada pula yang mengiyakan Pak Devon sebagai wakil. Bahkan, penerimaan e-awarding Best Travel Magazine in South East Asia bisa dengan serta merta diwakilkan oleh Pak Devon. Hanya saja, barangkali memang ada yang berbeda tanpa adanya Ibu Verona. Belum lagi berbagai invitation via e-mail yang selalu masuk di inbox-nya.
Aricia menatap sign off draft layout edisi khusus Jayachandra Media yang kemarin ditaruh oleh Siena di mejanya. Ibu Verona sudah pasti akan menyambut baik dan mengajak tim marketing communication untuk berbicara soal draft desain itu: berbicara soal metode promosi apa saja yang sebaiknya dilakukan, berbicara soal tone warna, mempelajari referensi majalah yang sama di luar negeri hingga mempelajari detail soal konsep keseluruhan. Pemimpin yang baik yang selalu ingin mengetahui setiap detail langkah dan percaya bahwa timnya tidak berjalan sendirian. Namun, draft itu masih saja berada di mejanya, karena Devon yang juga merupakan anak Ibu Verona tidak begitu tertarik mempelajari seluk beluk desain yang dirintis oleh keluarga ibunya sejak dulu.
Meskipun jelas ia berpihak pada Kiev yang setengah mati sangat mendukung Devon, namun ia sendiri menyadari: ketiadaan Ibu Verona di kantor ini membuat kantor seperti perahu tanpa nahkoda. Ia sendiri sangat menyangsikan, mungkinkan kantor masih bisa bertahan? Jika Devon bahkan tidak terlalu peduli dengan hal yang terjadi setiap harinya.
*
“Win, saya mau jangan sampai ada pihak eksternal yang tahu bahwa Ibu Verona sedang tidak ada di tempat dan entah kemana.”
Erwin tercengang. Pagi ini, ditatapnya Devon yang sedang berbicara padanya di balik layar kamera. Sudah berapa lama ia ingin menanyakan hal yang sama namun sepertinya Devon masih belum begitu ingin membicarakannya. Hingga pada hari ini, melalui meeting virtual, ia mendengar pemimpin muda itu berkata demikian.
“Sudah ada banyak sekali approval yang meminta persetujuan Ibu Verona,” Erwin berkata, “Termasuk bagaimana soal sistem bekerja selama Pandemi Covid-19. Seperti yang Pak Devon ketahui, kita mengalami kesulitan karena banyak event traveling yang di-cancel sehingga otomatis banyak sekali wartawan yang tidak bekerja. Banyak penyelenggaraan pun dilakukan dengan sistem online.”
“Saya sudah siap untuk take over semuanya,” Devon berkata. Sesekali menyisir rambutnya hingga terlihat lebih rapi dari seharusnya. Ia kemudian menatap semua yang hadir di pertemuan daring itu, “Karin, coba kamu ajukan bagaimana budgeting kita bulan ini. Termasuk soal pilihan apa saja yang mungkin bisa diambil. Jika memang dirasa penting untuk melakukan efisiensi, saya rasa tidak masalah untuk itu.”
Karin menelan ludah. Ia sendiri merasa bingung karena ada aliran budget tidak terduga yang hampir selalu masuk ke rekening Devon, tetapi jelas menanyakannya pada Devon bukanlah ide yang bijaksana. Ia hafal betul karakter bos muda itu yang akan mengatakan semuanya jelas juga untuk perusahaan. Opsi efisiensi dilakukan jelas sebagai opsi terakhir, karena kali terakhir bertemu dengan Ibu Verona, ia tidak menginginkan opsi itu dilakukan terlebih soal efisiensi terhadap tenaga kerja.
“Kita bisa mulai mengalihkan seluruh langganan koran menjadi bentuk koran digital,” Karin berkata, “Meskipun tidak banyak, tapi kita bisa mulai memangkas langganan koran. Saya kemarin sudah berbicara juga dengan tim Marcomm dan mereka setuju.”
“Iya, itu boleh juga. Kalau memang perlu efisiensi tenaga kerja, kamu bisa ajukan nama. Saya mau terima beres, ya. Lihat dari bagaimana KPI, bagaimana kedisiplinannya dan bagaimana kontribusi selama ini ke kantor. Kalau tidak banyak memberikan kontribusi, efisiensi jelas tidak masalah untuk saya.” Devon mengangguk, “Win, kamu bisa mulai ajukan jadwal split operation. Saya mau tetap ada kegiatan mengantor seperti biasa. Entah bagaimana caranya, kamu atur saja.”
*
Siena memilih untuk masuk kantor agak siang. Setelah berkoordinasi dengan Gumi, ia kemudian mengajukan diri untuk mengambil kue ulang tahun yang rencananya akan diberikan pada Devon. Selidik penuh selidik, ia sendiri ingin tahu seperti apa ruang kerja Devon. Barangkali saja, ada petunjuk soal keberadaan Ibu Verona sekalipun ia sendiri tidak memiliki petunjuk apa pun.
“Na, tolong ambilin ya, kue ulang tahunnya. Supir yang mengantar sudah di lobby,” Aricia berkata pada Siena. Ia mengangguk. Kemudian segera berjalan turun menuju ke lobby. Pikirannya berkecamuk banyak hal: bagaimana jika mungkin memang ada petunjuk soal kue ulang tahun tersebut.
Siena sendiri masih mengingat bagaimana Gumi menghampirinya pagi ini. Berkata pelan sambil menepuk pundak Siena. Matanya menatap Siena lurus seolah-olah gadis itu akan maju ke medan perang. Ia berkata, “Hati-hati, Na.”
Siena kemudian berjalan pelan menaiki lift. Tangannya menggenggam kue yang terlihat cukup besar itu. Aroma cokelat seketika memenuhi ruang lift yang terasa sempit. Tidak ada banyak orang di dalam lift, karena peraturan social distancing yang sudah semakin ketat dilaksanakan. Beberapa kali gadis itu memejamkan matanya. Pikirannya sibuk melayang, hingga ia sendiri bertanya dalam hati: benarkah hanya ia dan segelintir orang yang mempertanyakan dimanakan Ibu Verona kini berada?
*
Ruangan itu didominasi oleh warna cokelat muda. Karpetnya berwarna abu dan bersih hingga nyaris tidak ditemukan debu di atasnya. Siena melangkah pelan. Beberapa kali menghela napas perlahan seolah takut ada yang menemukannya di sini. Matanya sibuk menyapu sekeliling berharap ada sedikit saja petunjuk soal Ibu Verona.
Foto Ibu Verona dan Devon terpajang di atas desk. Ibu Verona duduk dengan Devon berdiri di sampingnya. Keduanya saling tatap dan tertawa. Devon tengah mengenakan toga tanda dirinya telah selesai wisuda, dan Ibu Verona mengenakan kebaya berwarna biru laut dengan tatanan rambut disanggul rapi. Begitu indahnya. Begitu manisnya.
Ruang kerja Devon terlihat terlalu besar untuk digunakan seorang diri. Tapi, sudah menjadi rahasia umum bahwa Ibu Verona begitu menyayangi anak semata wayangnya hingga memberikan ruang kerja yang bahkan lebih besar dari ruang kerjanya. Siena kembali melangkah dan meletakkan kue ulang tahun itu di meja Devon.