Hilang di Suatu Pagi

Hasdevi A. Dradjat
Chapter #5

Rahasia

Pagi berikutnya, Siena sedang mengelap hand dryer dengan tangan kanannya yang sudah dilengkapi dengan sarung tangan ketika ponselnya berdering. Seperti biasa, ia datang lebih awal ke kantor. Harapannya hanya satu, bertemu dengan Aricia di toilet. Namun nampaknya, gadis itu masih belum juga menampakkan batang hidungnya di kantor pagi ini.

Ia berpikir, ponselnya berdering hanyalah bagian dari ilusi. Tapi, beberapa menit kemudian, ponselnya kembali berdering meninggalkan mode getar yang membuat getaran hebat di dekat wastafel. Cukup keras hingga membuatnya mengelus dada perlahan karena terkejut. Tidak biasanya ada yang meneleponnya di pagi hari seperti sekarang.

Sebuah nomor tidak dikenal terlihat di layar ponselnya. Ia mengerutkan dahi. Ia betul-betul tidak tahu siapakah yang meneleponnya di pagi ini. Ia mencoba mengabaikannya. Namun, tiba-tiba ia teringat dengan kampusnya. Beberapa waktu lalu, ia memang mengurus keperluan wisuda di kampusnya. Namun, situasi pandemi Covid-19 yang membuat diperlukannya social distancing membuat Siena lantas berpikir: masih adakah kemungkinan wisuda dilakukan? Pembatasan sosial ini jelas membuat mahasiswa sepertinya harus memutar otak karena barangkali wisuda itu tidak jadi dilakukan. Ia kemudian berpikir dua kali untuk tidak mengangkatnya, karena bisa jadi telepon itu adalah telepon penting.

Siena menghela napas, sebelum lanjut menyentuh layar ponselnya dan ingin berbicara dengan siapa pun di seberang sana. Ia mengangkat sebelah alisnya sebelum bertanya pelan, “Halo?”

Tidak ada jawaban. Sekilas, ia mendengar suara yang penuh dengan gesekan namun entah apa. Rasanya bingung sekali, namun Siena berpikir tentu saja barangkali telepon ini adalah telepon penting yang rasanya tidak mungkin jika harus diabaikan.

Sekali lagi, tidak ada jawaban. Hingga jeda berkepanjangan tercipta di antara keduanya. Ia kemudian memilih untuk kembali menanyakan hal yang sama, “Halo?”

Terdengar suara deham yang lebih keras. Siena tersentak. Sepertinya, lawan bicaranya sudah mulai menyadari keberadaannya yang dari tadi ingin bertanya siapakah dia. Dari seberang sana, Siena kemudian mendengar suara berat yang akhirnya merespon pertanyaannya, “Saya tahu kamu Siena. Tidak perlu pusing dan bertanya siapa saya karena itu tidak penting. Saya tahu apa yang sedang kamu cari sekarang.”

Siena terdiam, tidak habis pikir dengan apa yang dibicarakan oleh orang yang sedang berbicara padanya ini. Namun, suaranya seperti terdengar seperti tengah menggunakan voice changer. Benarkah dia benar-benar tahu apa yang sedang dicari oleh Siena? Ia kemudian menyesalkan kemampuannya yang tidak mampu membaca pikiran lawan bicaranya jika tidak menatap matanya. 

“Saya tahu kamu mencari Ibu Verona.” 

Siena terdiam. Mencoba menerka-nerka siapakah yang sedang berbicara padanya. Namun, nihil. Sepertinya si penelepon sudah cukup lihai dengan menggunakan voice changer sehingga ia bahkan tidak dapat mendengarkan suara asli si penelepon. Si penelepon kemudian berkata, “Kamu harus mempersiapkan uang sejumlah 1 milyar jika ingin Ibu Verona selamat.”

Siena terhenyak. Dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu?

“Dalam waktu dekat, saya harapkan kamu sudah bisa mempersiapkan uang itu. Jangan bercerita pada siapa pun, jika kamu ingin Ibu Verona selamat.” si penelepon berkata dengan tenang walaupun menyisakan begitu banyak tanda tanya di benak Siena. Belum sempat Siena berkata lagi, telepon tersebut sudah tertutup. Pikirannya melayang entah kemana-mana. Bukan apa-apa, jangankan mempersiapkan uang 1 miliar, memikirkan harus makan apa besok saja ia kadang masih belum mampu.

*

Siena berjalan pelan. Ia mendekati meja Jihan, staff Human Resources yang ia rasa bisa diajak untuk bekerja sama. Sore itu, Jihan terlihat masih sibuk merapikan data-data khusus untuk jadwal split operation: bagaimana membagi keseluruhan tim kantor menjadi dua bagian. Bagaimana pun, protokol kesehatan tetap harus dilakukan. Di tengah pandemi yang seolah tidak memberi jeda serta belum memungkinkannya untuk memberlakukan keseluruhan sistem kerja dari rumah, split operation kemudian dijadikan sebagai solusi.

Belum sempat Siena berjalan mendekati Jihan, gadis itu sudah menerima telepon. Suaranya terdengar lebih pelan ketika menerima telefon itu. Ia bertanya, “Serius, Rob? Approval-nya cover-nya masih belum? Gimana cara Mbak Tyas bisa bidding vendor buat bantu layouting majalah dan cetak versi hard copy kalo ternyata cover-nya aja masih belum di-approve?”

Siena terdiam. Sedikit banyak mendengarkan. Ia kemudian teringat pada desain yang sudah diajukan oleh Robby untuk Ibu Verona. Beberapa waktu yang lalu, Siena-lah yang menaruh lembaran approval itu di meja Aricia. Namun, melihat Ibu Verona yang masih belum tahu ada dimana, sepertinya sulit jika memang hanya mengandalkan approval dari Ibu Verona.

“Pak Devon ini memang agak susah. Aku saja mau minta tolong approval buat jadwal split operation via Pak Erwin masih belum ada kabar sampai sekarang. Ya, padahal kamu tahu sendiri kan, aku butuh waktu juga untuk susun wording email blast untuk karyawan. Kalau karyawan masih dibuat terombang-ambing gini bingung juga. Tapi, paling susah untuk wartawan sebenarnya. Kalau nggak ada acara, mereka mau meliput apa.” Jihan berkata dengan pelan, sedikit banyak melepaskan keluh kesahnya pada Robby, “Oke, nanti aku sampaikan ke Mbak Tyas, ya, tentang proses approval desainnya yang masih mandek.”

Jihan menutup telepon tersebut. Ia kemudian kembali berfokus pada e-mailnya. Berkali-kali gadis itu menekan tombol reload, berharap ada e-mail masuk berisi approval tentang split operation. Namun, nihil. Belum terdapat apa-apa.

“Mbak Jihan.”

Jihan menoleh. Ia menatap Siena sejenak. Agak bingung karena tidak biasanya gadis yang jarang berbicara ini mau berbicara dengannya, terlebih ketika tidak ada Gumi. Tapi, Jihan kemudian tersenyum dan menarik kursi di sebelahnya.

“Eh, Siena. Sini duduk. Kenapa, Na?”

“Mbak Jihan, aku mau tanya.” 

Jihan segera menghentikan aktivitas yang sedang ia lakukan untuk sejenak menatap Siena. Beberapa kali, Siena menatap lantai dengan segan. Jihan pun refleks melihat ke arah lantai yang sudah dialasi dengan karpet itu, mencari tahu ada apa yang menarik di bawah sana. Siena tersentak kaget ketika menyadari ia sudah kembali beradu pandangan dengan Jihan. Jihan bertanya, “Di lantai ada apa, Na?”

Siena menggeleng. Ketika melihat mata Jihan, ia menyadari bahwa gadis itu tengah bingung mendapatinya yang kini berada di hadapannya, “Tumben Siena mau menghampiriku. Ada apakah?”

“Mbak Jihan, apakah mungkin jika aku--” Siena berkata, seolah-olah hendak menggantung kalimatnya. Ia menghela napas pelan untuk kemudian mengembuskannya lagi. Ia lalu berkata dengan suara yang tercekat hingga membuat Jihan harus mendekatkan telinganya lebih dekat pada Siena, “Aku pinjam uang?”

Jihan tersentak. Dari raut matanya, Siena bisa menyadari Jihan berpikir, “Apakah aku tidak salah dengar?”

“Buat apa, Na?” Jihan bertanya, sedikit banyak ingin tahu perkara apa yang bisa membuat Siena ingin serta merta meminjam duit pada kantor, “Apa buat kuliah?”

Siena menggeleng, “Bukan, Mbak Jihan. Kuliah sudah aman. Aku malah sedang menunggu keputusan wisudanya nanti akan seperti apa. Tapi, ini semua lebih ke permasalahan pribadi yang tidak bisa aku ceritakan.”

Jihan menganggukkan kepalanya. Setahunya, Siena sudah tidak memiliki keluarga. Jadi, permasalahan seperti apakah yang bisa membuatnya berpikir untuk meminjam uang. Bahkan jika mengingat Siena bukanlah tipikal pribadi yang bisa dengan mudah membuka diri, bisa jadi permasalahan ini sudah lebih kompleks dari yang diperkirakan. Namun, Jihan tetap mengangguk dan mengaku akan mengecek semuanya lewat sistem.

Lihat selengkapnya