Siena terdiam. Sedikit terkejut ketika melihat siapa yang sudah berdiri di hadapannya. Jantungnya rasanya hampir copot. Matanya melotot. Beberapa kali terdengar tarikan napas yang naik turun. Rasanya, ia sudah hampir gila. Namun, ia menyadari tidak ada orang lain yang lebih ingin ia lihat di hadapannya kini selain Gumi. Ia menatap orang yang tengah berdiri di hadapannya, bersikap santai namun tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Siena ingin sekali mencubitnya karena membuat Siena terkejut seperti sekarang ini.
Gumi tersenyum lebar. Tidak tahan rasanya melihat ekspresi Siena yang begitu ingin membuatnya tertawa. Gadis itu melotot melihatnya yang tengah tersenyum dengan lebar seperti ini. Ia menggoda Siena, “Na, jangan kaget gitu, atuh. Kamu teh kalo kaget gitu makin lucu.”
“A Gumi!” Siena memonyongkan bibirnya. Tidak lama kemudian, ia sibuk menoyor Gumi dengan sangat pelan, “Aku kira siapa. Ayo, sini cepat!”
Gumi melangkah maju. Langkahnya makin dipercepat ketika melihat apa yang sudah berhasil Siena temukan. Gadis itu menyimpan sebuah cek penting berisi nominal yang nyaris membuat mata Gumi terjungkal. Satu milyar rupiah. Tidak kurang, dan tidak lebih. Disimpan sembarangan di dalam brankas yang sudah menganga itu. Gumi tidak habis pikir. Apakah memang orang kaya sebegitu sembrononya.
"Cek ini akan aku simpan di dalam koper yang kelak akan aku gunakan untuk pergi menghampiri Ibu Verona," Siena berkata pelan sambil menjelaskan rencananya akan cek satu milyar itu, "Hanya selembar memang, tapi lihatlah betapa berharganya cek ini."
"A Gumi benar-benar tidak pernah berpikir seperti ini, Neng Siena." sahut Gumi sambil menatap Siena dengan takjub. Kertas itu memang hanya selembar. Tapi, cukup rasanya jika disebut sebagai aset yang dimiliki oleh Devon. Seumur-umur menjadi office boy, ia benar-benar tidak pernah bisa membayangkan bahwa harus menghadapi masa dimana ia melihat sendiri aset yang berjumlah sangat besar seperti satu milyar itu. Ada perasaan curiga menyelinap dalam dirinya, mengapa si penculik Ibu Verona bisa paham dengan persis jumlah cek yang terdapat di brankas milik Devon. Apakah mungkin saja penculik ini memiliki ikatan dengan Devon?
“Jangan kaget gitu, A Gumi. Kaya belum pernah lihat uang banyak aja,” Siena bersiul sambil memasukkan cek itu ke dalam tas pinggangnya.
Gumi menoyor kepala gadis itu pelan. Kadangkala, sifatnya yang tidak mudah ditebak bisa saja muncul di saat yang tidak terduga. Seperti saat ini, tentunya. Bersiul di tengah kemungkinan suatu waktu bisa saja mereka terciduk oleh Devon atau pun anak buahnya yang lain. Ia menggumam pelan dalam hati, kaya kamu pernah saja.
Siena nyengir. Sampai sekarang, tentu saja Gumi tidak tahu bahwa ia bisa membaca pikiran Gumi terlebih jika ia menatap mata Gumi. Tapi, buat Siena, tidak perlu ada banyak orang yang tahu karena tidak perlu ada banyak orang yang mengerti.
“Sekarang, rencanamu apa?” Gumi bertanya sambil menutup kembali brankas itu. Sesekali ia menatap sekeliling, terutama ke arah CCTV yang terletak di sudut kiri dekat pintu ruang kerja Devon. Tentu saja Gumi sudah memperhitungkan semuanya ketika mengambil shift malam ini bersama Siena. Ia memilih untuk mematikan CCTV di ruang kerja Devon sejak tadi sore. Perencanaan matang jelas dibutuhkan mengingat waktu mereka tidak begitu lama.
“Tentu pergi ke Dieng,” Siena mengangguk mantap. Ia menatap Gumi, “Tidak perlu lagi aku tunggu telepon tidak dikenal itu. Biar aku saja yang datang ke sana. Siapa tahu aku bisa bertemu langsung dengan Ibu Verona.”
“Bagaimana caranya?” Gumi mendesis, “Di tengah pandemi Covid-19 seperti ini, perjuanganmu mencapai Dieng tentu akan lebih sulit dari biasanya. Kecuali..”
Siena menyipitkan matanya. Tentu saja perjalanan kali ini akan lebih sulit dari biasanya. Keduanya bertatapan mata. Ada kesamaan pikiran yang meletup di antara keduanya. Setiap masalah tentu ada solusinya, termasuk bagaimana jalan agar keduanya bisa mencapai Dieng. Sepertinya, Siena dan Gumi memiliki pikiran yang sama.
*
Kiev berlari agak cepat menuju ke arah toilet. Didorongnya pintu toilet dengan siku. Napasnya terengah, pikirannya melayang kemana-mana. Devon seharusnya sudah muncul malam itu. Tapi, entahlah. Barangkali bos-nya itu masih dalam keadaan sadar tidak sadar setelah pingsan kemarin malam. Ada cerita yang harus segera didiskusikan dengan bosnya. Sebuah firasat bahwa bisa saja rahasia mereka terbongkar. Bisa saja cepat atau lambat ada yang mengetahui keberadaan kasino rahasia ini. Kalau sudah begitu, mereka bisa apa.
Pria itu tidak menyadari bahwa sebenarnya ia tidak sendiri di dalam toilet. Siena melangkah pelan menuju pintu toilet dan menguncinya perlahan hingga ia yakin tidak ada sedikit pun suara yang terdengar. Gumi keluar dari dalam kubikel. Berjalan pelan menuju ke arah wastafel, menanti Kiev yang masih di dalam kubikel toilet.
Pria itu keluar, lalu menyalakan keran air. Suara air mengalir seketika memenuhi atmosfir ruangan. Bergemericik pelan. Menciptakan nada yang mengisi hening di sekitar mereka. Kiev mulai membasuh wajahnya pelan. Matanya menatap pantulan bayangannya di cermin. Betapa aku rindu keluargaku, batinnya. Lantas apa yang ia lakukan di sini? Mencari hal yang tidak pasti. Mencari kedudukan dan materi yang pernah dijanjikan oleh Devon. Berusaha keras agar usaha kasino yang sejak dulu dipersiapkan Devon bisa berjalan sesuai dengan rencana.
“Andrina pasti menunggumu,” Siena berkata pelan ketika menatap pantulan bayangan Kiev di cermin, “Gadis kecil yang setiap malam hanya duduk di dekat pintu menanti ayahnya pulang. Sama sekali tidak pernah tahu apa yang dilakukan oleh ayahnya hingga larut malam.”