Siena berdiam sejenak sebelum menyadari suara dari pengeras suara membuatnya tersadar bahwa ia harus segera bersiap. Sesaat lagi, kereta api Progo menuju Stasiun Purwokerto akan diberangkatkan dari Stasiun Pasar Senen menuju Purwokerto, begitu suara di pengeras suara itu membuat Siena tersadar dan segera beranjak.
Ia mulai berkemas dan berlari. Menajamkan pendengaran, berharap tidak salah menangkap dari gerbong mana ia harus siap sedia. Perjalanan masih panjang, karena setelah tiba di Purwokerto, Siena masih harus menaiki bus untuk menuju Wonosobo. Belum lagi, ia masih harus menaiki angkutan umum untuk mencapai ke Dieng. Namun, rasa lelahnya itu terasa bukan apa-apa jika harus dibandingkan dengan bagaimana rasanya ia akan kembali bertemu dengan Ibu Verona.
Kereta Progo yang ditunggu oleh Siena hampir melewatinya. Ia bergerak dengan cepat, berlari, mengejar jangan sampai tertinggal. Untunglah, ia masih diperbolehkan untuk menaiki kereta setelah menunjukkan kartu pers, KTP serta screenshoot tiket yang diberikan oleh Kiev.
Ia mulai mengatur ritme napas. Terlebih dari itu, juga memerhatikan strategi yang harus ia lakukan setelahnya. Bagaimana caranya agar semua berjalan dengan lancar dan ia bisa kembali bertemu dengan Ibu Verona namun dalam cara yang sehalus mungkin. Begitu memerhatikan sekeliling, ia bisa melihat bahwa suasana social distancing memang benar adanya. Ia hampir tidak menemukan orang lain di sekitarnya kecuali ada satu orang yang duduk tidak begitu jauh darinya. Barangkali, gerbong ini hanya diisi oleh mereka berdua. Selain karena kereta ini merupakan kereta terpagi, barangkali memang tidak ada begitu banyak orang yang ingin mengunjungi Purwokerto di saat seperti sekarang ini. Namun, tidak ada hal menarik yang bisa diperhatikan Siena dari usahanya membaca pikiran pria itu karena isi pikiran pria itu hanyalah buku yang sedang dibacanya.
Siena mencoba menatap mata satu-satunya orang yang duduk bersamanya di gerbong ini. Beberapa kali ia mencoba menatap matanya guna mengetahui apa yang mungkin ada di pikiran pria itu. Namun, nihil rasanya. Siena seperti belum bisa mencari tahu apa yang diikirkan oleh pria itu. Ia kemudian mulai menoleh dan melihat pemandangan sekelilingnya namun suasana masih terlalu gelap hingga bahkan matahari saja masih enggan menampakkan diri. Di sinilah ia berada sekarang, mencari cara agar dapat segera menemui Ibu Verona.
Siena kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Roti yang sebelumnya telah ia beli di stasiun yang ia harapkan mampu untuk sekedar mengganjal perutnya yang terasa begitu lapar. Siena bahkan lupa usahanya untuk bisa sampai di kereta ini sudah cukup memakan waktu dan tenaga sehingga ia merasa begitu laparnya. Namun, ia sendiri merasa bingung ketika melihat ada sesuatu yang tidak biasa dari kertas roti yang membungkus rotinya pagi itu. Semacam terdapat sebuah pesan yang ditulis dengan menggunakan tulisan tangan.
Datanglah tepat di pukul 13.00 WIB. Saya menunggumu di Dieng.
Siena mengernyitkan dahinya. Bagaimana bisa siapapun yang menulis di bungkus roti ini bisa paham bahwa ia tengah menaiki kereta menuju ke Purwokerto dengan tujuan akhir di Dieng? Tapi, bukankah ia sudah begitu terbiasa dengan berbagai macam kejutan yang diberikan oleh siapa saja yang mengirimkan pesan-pesan rahasia padanya bahkan sejak awal.
Siena melemparkan pandangan ke jendela. Matahari sedikit banyak sudah muncul ke permukaan tanda hari sudah dimulai. Entah akan bertahan seberapa panjang hari ini, namun sudah pasti hari ini lebih lama daripada biasanya. Meninggalkan Jakarta jelas menjadi sesuatu yang begitu baru bagi Siena sebab seumur hidupnya ia belum pernah keluar dari kota yang membesarkannya itu.
Hamparan sawah menyejukkan mata sejauh mata memandang. Siena begitu ingin memejamkan matanya barang sejenak, melupakan misi utamanya untuk sekedar beristirahat. Ia sadar sudah hampir pagi dan ia masih saja belum tertidur. Namun, pikirannya terlalu penuh hingga bahkan untuk memejamkan mata sejenak saja begitu sulit rasanya.
Kedua pasang mata itu memperhatikannya dari jauh. Di balik buku 7 Habits of Highly Effective People milik Stephen Covey, sesekali pria itu memperhatikan Siena. Gadis itu menjadi penasaran, apa yang sekiranya berada di pikiran pria itu. Namun, pria itu selalu mengalihkan pandangannya tatkala Siena melihat lurus ke dalam kedua bola matanya.
Perjalanan 4 jam terasa begitu lama. Siena segera mengepak barangnya untuk turun begitu kereta tiba di Stasiun Purwokerto. Hal pertama yang dilakukannya begitu menginjakkan kaki adalah menghirup napas sedalam-dalamnya, merasakan udara luar Jakarta yang konon lebih bersih. Benar adanya. Siena berjalan untuk menuju ke luar stasiun. Beberapa kali ia menoleh ke belakang, sekedar memastikan bahwa tidak ada satu pun yang mengikutinya. Entahlah, perjalanan ini barangkali terlalu rahasia atau berbahaya sehingga ia harus ekstra berhati-hati.
Selalu hati-hati, ya, Na.
Begitulah isi pesan singkat yang diberikan oleh Gumi padanya. Satu-satunya orang yang tahu kemana dia sekarang. Siena membalas jawaban atas pesan singkat itu. Direkatkannya lagi masker yang ia kenakan. Sekalipun menyambangi Jawa Tengah dalam rangka mengemban tugas, Siena tentu tidak bisa melupakan protokol kesehatan dengan terus mengenakan maskernya.
Siena kemudian menaiki bus yang membawanya menuju Wonosobo. Ketika duduk, ia kembali melihat pria itu, pria yang sama yang ia temui di kereta. Namun, pria itu memilih untuk mengalihkan pandangannya ketika Siena mengernyitkan dahi dan tidak habis pikir: mengapa se-kebetulan itu. Atau mungkin, tidak ada yang kebetulan di sini?
*
Matahari sudah semakin meninggi ketika Siena tiba di Dieng. Tujuh belas derajat celcius. Entah akan seperti apa rasanya jika Siena menanggalkan jaket yang diberikan oleh Gumi. Direkatkannya jaket itu. Angin sesekali berhembus sepoi-sepoi dalam damai, membuatnya ingin memejamkan mata barang sejenak. Begitu dalam, hingga rasanya tidak ada hal lain yang ia inginkan di bumi selain bertemu Ibu Verona. Entahlah. Ada angin apa hingga ia memberanikan diri mencari boss-nya yang keberadaannya saja bahkan nyaris terlupakan atau sengaja ditutupi.
Siena sudah siap melangkah setelah mengalungkan kartu identitas yang diberikan oleh Kiev. Cukup meyakinkan memang, apalagi untuk ukuran kartu identitas yang dibuat kilat beberapa jam saja. Fotonya. Nama Judistia yang berarti sinar matahari dalam bahasa Sansekerta. Resmi bernama Judistia dalam beberapa waktu ke depan. Ia kini siap melangkah menghadapi apa yang ada di depan mata.
Dieng tampak tidak seramai yang dipikirkannya. Dieng Culture Festival lebih lagi. Biasanya terdapat banyak orang yang berkumpul jadi satu. Sibuk dalam cermatnya masing-masing mempelajari kebudayaan yang konon melegenda ini. Anak-anak gimbal yang akan berbaris dengan rapi menunggu untuk dicukur rambutnya. Tidak ada suara gamelan jawa. Hari ini semua terasa lebih syahdu, hikmat dan sunyi. Membuat siapa saja yang berada di sini tiba-tiba merasakan aura magis yang begitu berbeda. Menyatu dengan alam. Menyatu dengan salah satu tempat tertinggi di Jawa Tengah. Siena kembali merapatkan jaketnya, merasa bahwa udara sudah semakin dingin.
Siena menatap koper kecil yang dibawanya. Di sana ada cek senilai 1 milyar, total jumlah angka yang diminta oleh penelepon misterius itu. Berkali-kali Siena memeriksa ponselnya, berharap akan kembali mendapatkan telefon atau apapun petunjuk akan keberadaan si penelepon misterius. Namun, masih nihil sekali rasanya. Tidak ada panggilan masuk atau chat dari orang yang nomornya tidak ia kenal.
“Hei, Ito. Sepertinya kita pernah bertemu sebelumnya.”