Siena segera bergegas. Sesekali ia menengok ke arah kanan maupun kiri untuk sekedar berharap tidak ada satu pun yang mengenali maupun menyusulnya. Langkah kakinya makin cepat. Sesekali ia memilih melipir. Mengatur napas yang sudah tidak karuan ritmenya. Berkali-kali ia katakan pada dirinya sendiri untuk tetap berhati-hati.
Dieng sudah agak ramai. Banyak orang mengenakan masker dan menjaga jarak sosial. Siena mengenakan kembali maskernya. Setidaknya akan agak sulit bagi siapapun untuk mengenalinya jika ia mengenakan masker. Siena kemudian menatap sekeliling. Mencari tahu jika barangkali ada Ibu Verona di sekitar sini. Tapi, dalam hati ia tidak henti menyesali langkahnya sendiri. Terlalu polos rasanya jika membayangkan si penculik dengan serta merta menyerahkan Ibu Verona padanya. Tidak mungkin rasanya jika Ibu Verona dipertemukan dengannya dalam cara yang begitu mudah.
Suara gamelan jawa kembali mengudara walaupun terdengar dengan sangat pelan. Siena sedikit banyak menikmatinya. Mengambil jeda sedikit dari hari-hari yang belakangan terasa panjang untuknya. Entah bagaimana, atau harus seperti apa. Meskipun masih sulit memahami, tapi ia percaya Ibu Verona tidak jauh dari sini.
Berkali kali ia edarkan pandangannya ke sekeliling. Namun nihil, tidak ada sosok Ibu Verona di sekitar sini. Ia sempat membelalakkan matanya ketika melihat dari kejauhan, Agra tengah berdiri dan menyisir pandangan. Pria itu beberapa kali menengok ke arahnya. Siena terkejut. Tidak menyangka secepat ini ia harus bertemu kembali dengan pria itu.
Siena berbalik. Berjalan pelan dan makin lama makin cepat. Beberapa kali ia menubruk orang-orang yang tengah berjalan untuk mengikuti Dieng Culture Festival. Tapi, Siena tidak memiliki jalan lain selain terus berjalan: ke arah Utara. Satu-satunya petunjuk yang diberikan oleh Agra sebelum pria itu pingsan.
Siena berlari. Dikencangkannya larinya hingga terasa ingin berkejaran dengan awan. Saking kencangnya, hingga beberapa kali ia merasa tidak seperti tengah menapak. Jalan yang terjal dilalui, entah bagaimana caranya ia harus kembali turun. Siena terdiam. Ia memilih untuk mengencangkan jaketnya karena udara sudah semakin dingin. Beberapa kali ia menoleh ke belakang. Agra masih terlihat kebingungan dan mencari. Sekali pun demikian, ia tidak ingin mengambil risiko. Digenggamnya erat koper di tangannya untuk melangkah lebih jauh lagi.
Dalam keadaan terdesak, Siena melihat seorang ibu di depan warung melambai kepadanya. Sini, pikir Ibu itu dalam hati. Siena menatap matanya, tidak cukup waktu baginya untuk berlari jika ingin menghilang. Menghindar barangkali bisa menjadi alternatif. Toh, tidak ada yang salah juga dengan melipir di warung kecil itu. Setidaknya, Siena bisa meminum teh hangat barang sejenak saja dan mengatur setiap tarikan napas.
“Sini, Nak. Kamu pasti kedinginan” Ibu itu menarik lengan Siena pelan, memintanya untuk masuk ke dalam warung kecilnya. Siena tersentak. Namun, jika saja Siena lengah sedikit, ia tahu Agra sudah bisa menangkapnya.
“Bu, saya mau minta tolong.” Siena berkata sambil menggigit bibir bawahnya, “Tidak banyak, Bu. Tolong jika ada siapapun yang bertanya tentang orang yang ciri-cirinya mirip seperti saya, jangan pernah katakan bahwa Ibu memang pernah melihat saya.”
Ibu itu mengangguk.
Tidak ada yang berbeda dari warung yang kini disinggahi oleh Siena. Baik lantai maupun dindingnya terbuat dari kayu yang barangkali sebentar lagi bisa saja merapuh. Aroma wedang jahe memenuhi atmosfer penciuman yang dapat ditangkapnya. Menenangkan sekali. Sesekali Siena melemparkan pandangan keluar, melihat puncak Dieng yang bertengger dengan gagahnya. Angin berhembus sepoi-sepoi. Baru kali ini ia berhasil menginjakkan kaki di luar Jakarta, dan jauh di lubuk hatinya ia merasa bersyukur atas kesempatan bisa mengunjungi Dieng yang megah ini.
Siena menghormati keheningan yang terjadi antara ia dan ibu pemilik kedai ini. Tidak banyak orang datang kemari. Bahkan, saat ini hanya Siena saja yang duduk di bangku panjang kedai ini. Air sudah mulai matang. Tangan ibu itu kemudian dengan cekatan merebus air. Memasukkan biji kopi ke dalam cangkir yang telah disediakan. Menambahkan beberapa sendok gula pasir. Kemudian, menjaring kopi dengan menggunakan air hangat.
Siena meminum kopi itu. Hangat dan nikmat. Rasanya seperti begitu menenangkan begitu kopi itu melewati tenggorokannya. Bukan hanya suhunya yang terasa pas, namun juga rasanya yang begitu berbeda ketimbang kopi lain yang pernah ia rasakan.
Kopi ratamba, Siena menatap ibu pemilik kedai dan bisa merasakan ibu itu tengah berpikir soal kopi yang ia sajikan, kopi terbaik dari Dieng.
Siena kemudian sempat memikirkan beberapa orang di kantornya yang seringkali meminta Gumi untuk membuat kopi. Devon, salah satunya. Pada satu kesempatan, ia mengingat bagaimana Gumi kelabakan setengah mati mencari bungkus kopi yang sempat ia taruh di pantry. Waktu itu, Gumi hanya berkata bahwa bisa saja ia kehilangan pekerjaannya jika ia tidak memberikan Devon secangkir kopi yang luar biasa nikmat. Penasaran, Siena pun bertanya. Tapi, Gumi hanya menggambarkannya dengan: kopi terbaik dari Dieng.
Jadi, seperti inikah rasanya kopi kesayangan bos besar di kantor?
Siena kemudian segera menaruh koper kecilnya di sudut kecil di bagian kedai. Ia memastikan bahwa koper itu tidak terlalu mencolok terlebih dari pintu utama. Ia tidak pernah tahu, siapakah yang mungkin saja bisa tiba-tiba datang dan langsung memasuki kedai.
Langkah berderap terdengar semakin dekat. Setengah berlari. Bercampur dengan tarikan napas yang tidak teratur. Ritme yang begitu acak-acakan. Dalam hitungan jari, Siena bisa merasakan bukan hanya ia dan ibu pemilik kedai yang berada di tempat ini.
“Bu, apa ibu melihat ada perempuan yang kiranya masuk ke sini?” tanya suara berlogat Sumatera Utara itu pada ibu pemilik kedai. Siena paham betul suara itu milik siapa. Tentu saja, Agra adalah orang terakhir yang ia prediksikan bisa masuk pula ke kedai ini. Namun di sisi bersamaan, Agra pulalah yang pada akhirnya datang kemari.