Hilang di Suatu Pagi

Hasdevi A. Dradjat
Chapter #9

Pembaca Pikiran

“Kopi itu dari Ratamba, sebuah desa di barat Dieng. Di situlah pula kampung halaman keluarga Ibu Verona, setahuku demikian.”

Siena mengangguk begitu mendengar penjelasan dari Bu Regina di ujung telepon. Sudah sekian lama rasanya sejak akhirnya ia memutuskan untuk menghubungi Ibu Regina kembali, karena merasa ada kesamaan rasa antara kopi yang diminumnya di kedai dekat Dieng dan kopi yang biasa diminumnya kala di panti asuhan dulu. Pikirannya sudah melayang entah kemana, yang jelas tidak di sini. Sudah tidak di Dieng Culture Festival tentunya. Satu-satunya hal yang kembali terpikir adalah bagaimana caranya bisa menemukan Ibu Verona yang barangkali ada hubungannya dengan kopi yang ia baru saja icip.

“Aku pikir berasal dari utara Dieng, bu.” Siena berkata sambil berbisik. Kini ia berada di sebuah bus yang mengantarkannya kemana saja, yang jelas ke sebelah barat: Desa Ratamba. Berkali-kali Siena coba mencocokkan kembali potongan koordinat yang ia temukan. Barangkali benar di Dieng, tapi tidak persis. Tidak sama. Bisa jadi titik lainnya, tapi dekat dengan Dieng. Penculik Ibu Verona tentu senang bermain-main dengannya.

“Tidak, Nak. Kopi itu dari Ratamba. Kopi yang sama yang seringkali diberikan oleh Ibu Verona pada kami di panti asuhan.” Ibu Regina kembali berkata.

Siena mengangguk, kemudian memilih untuk menutup telepon dari Ibu Regina. Mengapa harus kembali ke kampung halaman? Sebegitu mudahnyakah memecahkan teka-teki yang dibuat sendiri oleh si penculik?

Siena kemudian turun di satu titik yang disebut dekat dengan Ratamba. Ponselnya setidaknya berkata demikian. Supir pun tidak memiliki alasan untuk tidak memberikan lokasi yang tepat untuknya. Maka, ia pun memilih turun. Menghirup sejenak seperti apa udara yang ditawarkan oleh kawasan di dekat Ratamba sebelum akhirnya kembali memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya.

Entah di ketinggian berapa desa itu. Suasananya dingin dengan angin yang perlahan seperti menyelimuti Siena tanpa ampun. Berkali-kali Siena mencoba melihat layar ponselnya. Tapi, nihil, hampir tidak ada sinyal di sana. Entah berharap akan ada keajaiban apa namun sudahlah. Untungnya, ia sempat mengabari Gumi agar cepat memberikan bala bantuan padanya jika dalam beberapa jam ke depan ia tidak bisa dihubungi. Bagaimana caranya, ia sendiri tidak paham. Namun, satu hal yang pasti: ia percaya pada Gumi.

Mereka sempat melakukan panggilan video call beberapa saat yang lalu, sebelum akhirnya Siena kembali menelepon Ibu Regina. Di sana, Siena bisa melihat kekhawatiran yang amat sangat dari wajah Gumi sekalipun pria itu memilih tidak mengatakannya pada Siena. 

Hati-hati, Siena, sebuah kalimat yang seringkali terputar di pikiran Gumi. Berkali-kali ia mengatakan bahwa kondisi di Jakarta aman. Ia seringkali berkelit bahwa Siena butuh bolak-balik ke kampus untuk mengurus segala macam urusan soal wisudanya nanti, sesuatu hal yang membuat Siena selalu percaya pada Gumi.

Desa Ratamba begitu terasa sepi dan sunyi hingga tidak mungkin rasanya bertanya pada siapapun di sini. Hari sudah menjelang sore hingga sebentar lagi terasa gelap, tidak mungkin rasanya jika Siena berlama-lama di sini. Ia butuh untuk bertanya sesuatu pada siapa pun. Jika firasatnya benar, Ibu Verona seharusnya berada di sini.

*

Di sebuah ruangan yang temaram karena hanya dihiasi oleh cahaya matahari yang mengintip dari sela-sela, Verona duduk sembari sedikit demi sedikit berdoa dalam hati. Ia bukanlah tipikal orang yang religius seperti sahabatnya, Regina, namun tetap saja dalam keadaan terdesak seringkali manusia spontan mengingat Tuhannya. Siapa pun yang menculiknya memang benar, tidak ada perlakuan kekerasan apa pun yang diberikan padanya, namun tetap saja Verona merasakan satu haknya terenggut tanpa ampun: kebebasan.

Tidak jauh dari tempatnya duduk, ada dua orang penjaga yang sepertinya menjaganya setiap saat. Dua orang yang sama seperti yang menciduknya beberapa waktu lalu di toilet VIP kantornya sendiri. Salah satunya yang berbadan lebih tambun adalah ia yang gemar menggunakan voice changer setiap kali berusaha melakukan kontak dengan orang di luar sana.

Mereka tidak banyak berbicara, namun selalu memastikan kebutuhan Verona terpenuhi. Ruangan tempatnya kini bernaung pun sangat jauh dari bayangan ruang sandera: seprai linen yang nyaman, pewangi ruangan sandalwood yang sesekali berbaur dengan parfum citrus yang dikenakannya, serta alunan musik Chopin dari vinyl records lengkap dengan pemutarnya di ujung ruangan. Semuanya didesain seolah-olah ruangan itu memang tercipta untuk Verona. Ia bahkan bisa menikmati makanan favoritnya selama berada di ruangan itu: mie ongklok serta nasi megono yang selalu disajikan dengan hangat. Ditambah lagi kopi ratamba yang hampir tidak pernah absen setiap harinya. Verona sering berpikir: apa benar dalang di balik ini semua adalah orang yang justru sangat dekat dengannya?

Mata Verona ditutup ketika menempuh perjalanan menuju ke ruangan ini. Namun, firasatnya mengatakan bahwa tempat ini sudah amat sangat jauh dari Jakarta. Begitu jauhnya hingga Verona kerap kali merasa mual membayangkan menempuh perjalanan jauh dengan mata yang terpaksa tertutup. Tapi, ratamba dan kuliner mie ongklok maupun nasi megono sungguh membuatnya rindu kampung halaman hingga seringkali ia berpikir: benarkah ini sudah dekat dengan Dieng?

Satu-satunya komunikasi yang terakhir kali ia lakukan adalah tadi pagi--entah tadi pagi atau kemarin pagi--bersama Siena, gadis yang bekerja paruh waktu menjadi petugas toilet di kantornya. Gadis itu terdengar bahagia mendengar suaranya, membuatnya seketika mengingat Regina. Sahabatnya itu tentu sudah menjaga dan merawat Siena hingga gadis itu tumbuh menjadi gadis yang dewasa dan mandiri seperti sekarang. Sekalipun di waktu yang bersamaan, Verona seringkali berpikir: jika saja ia berkesempatan untuk melihat anaknya, barangkali anaknya sudah seusia dengan Siena.

Piye tho?” tanya salah satu penjaga pintu, si voice changer, begitu pintu kamar Verona sudah terbuka. 

Verona berbalik, melihat keduanya tengah salah tingkah dan masih memperhatikannya dengan seksama. Salah satunya menghadap ke arah Verona. Keringat bercucuran dari pelipisnya. Bingung tidak tahu harus berkata apa. 

Tapi, terlambat. Verona telah menatapnya dengan sedikit bingung. Ia kemudian memperhatikan setiap gerak-gerik keduanya. Kemudian, berkata dengan suara yang tenang, “Ada apa?”

“Ada yang ingin bertemu dengan Ibu. Seseorang yang selama ini selalu memberikan perintah pada kami.”

Verona memiringkan kepalanya sejenak, mencoba memikirkan siapa yang ingin bertemu dengannya di tengah keterasingannya seperti sekarang. Barangkali tidak ada orang yang tahu keberadaannya sekarang. Bahkan, Verona sendiri tidak bisa berangan terlalu tinggi bahwa ada yang mencarinya. Beberapa kali ia mencoba untuk pergi dari rumah tempatnya berada. Tapi, entahlah barangkali rumah ini sudah dilengkapi dengan sistem CCTV dan teknologi tinggi hingga kemana pun dan dimana pun ia mencoba pergi, kedua penjaga itu selalu dapat menemukannya. Tidak ada kekerasan, memang. Berkali-kali mereka memberi tahu Ibu Verona bahwa tidak boleh ada kekerasan untuknya. Semua pintu terkunci. Verona dibuat nyaman tetapi paham betul ia hanya berada di sebuah sangkar emas, entah untuk sampai kapan. Entah untuk apa. Namun, tiba-tiba di suatu pagi ia menyadari bahwa Siena tengah berupaya untuk membebaskannya dengan tebusan sejumlah aset yang besar jumlahnya. 

Seseorang kemudian berjalan masuk ke dalam ruangan Verona. Langkahnya tegap. Setengah wajahnya terbalut oleh masker. Ia kemudian masuk dengan seseorang yang juga berdiri di belakangnya. Ia kemudian mendekati Verona. Perlahan, membuka masker yang tengah dikenakannya.

Lihat selengkapnya