Hilang di Suatu Pagi

Hasdevi A. Dradjat
Chapter #10

Tidak Sendiri

Verona tahu ia tidak bisa membiarkan Siena terkapar begitu saja tidak berdaya. Kalau ada satu-satunya hal yang bisa ia lakukan tentu adalah menelepon siapa pun yang bisa membantunya. Tapi, di satu sisi ia juga menyadari bahwa teleponnya sudah sejak lama disita sehingga ia tidak mampu menelepon siapapun. Ponsel Siena tiba-tiba terjatuh, tergeletak tidak jauh dari tempat Verona tengah duduk. Ketika semua mata tertuju pada Siena yang masih berusaha melawan, saat itulah Verona tahu apa yang harus ia lakukan.

Pelan, hingga nyaris tidak bersuara, Verona menggeser kursi tempatnya duduk. Pelan dan perlahan. Tiba-tiba ia melihat Aricia menatap ke arahnya. Namun, Verona memilih tetap diam saat gadis itu menatapnya. Napasnya tercekat. Keringat mulai mengucur deras. Tapi, ia tahu ia tidak boleh kehilangan keberanian untuk menelepon siapa saja yang bisa membantunya dan Siena.

Setelah sadar Aricia kembali melihat ke arah Devon dan yang lainnya, Verona kembali berusaha sekuat tenaga untuk mendekatkan diri ke arah ponsel itu. Perlahan, ia mencoba membuka tali yang mengikat pergelangan tangannya. Sulit. Entah berapa kali putaran tali itu dibabat di tangannya. Tapi, menyerah jelas bukan pilihan untuknya. Ia kembali memutar otak. Kali ini, ia mulai menggesek-gesekkan bagian permukaan gelangnya hingga sedikit demi sedikit tali tersebut kembali terbuka. Pelan tapi pasti. Perlahan, hingga akhirnya ia yakin bahwa ia sudah bisa melonggarkan tali untuk mengambil ponsel tersebut. Verona kemudian dengan cepat mengambil ponsel itu dan kembali duduk di tempatnya.

Aricia menengok dengan cepat. Verona menggenggam ponsel dan tali di tangan kanannya. Gadis itu melangkah, mendekati Verona. Beberapa kali terdengar suara tinju Siena yang melayang ke arah Agra memenuhi ruangan, namun mata Aricia lebih tertarik mengamati Verona. Gadis itu mulai memperhatikan Verona dari ujung kaki hingga ujung kepala begitu pula sebaliknya.

“Sayang,” Kiev berkata sambil mendekati Aricia, “Bagaimana kalau kita ambil saja koper 1 miliar itu daripada hanya berdiam diri melihat Siena berkelahi seperti ini?”

Aricia terdiam. Batinnya menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan Verona. Namun, ia juga menghargai niat Kiev untuk mengamankan koper tersebut. Bagaimana pun, Devon sudah berjanji kepada mereka bahwa akan memberikan posisi terbaik untuk mereka berdua ketika memang telah yakin bahwa Aricia dan Kiev memang berpihak padanya. 

Verona masih terdiam terpaku. Namun, ia berhasil bernapas sedikit lebih lega ketika menyadari Aricia mengangguk dan memilih untuk mengikuti saran Kiev. Verona kemudian mulai memencet tombol apa saja yang ia temukan di ponsel itu. Rencananya hanya satu: membiarkan ponsel Siena menelepon siapa pun dan mendengar percakapan apa yang tengah terjadi di sini.

*

Sejak awal Gumi tahu, membiarkan Siena sendirian pergi ke Dieng bukanlah sebuah keputusan yang tepat. Tapi, ia sudah paham betul bahwa Siena terlalu keras kepala untuk diberi tahu. Beberapa jam setelah Siena pergi, ia bersiap untuk mengikutinya dengan pergi juga ke Stasiun Senen. Protokol yang sudah cukup ketat memang harus dilaluinya, tapi ia beruntung karena masih bisa pergi ke Dieng meskipun dengan peraturan yang begitu ketat. Meskipun jauh, tapi Gumi paham dengan pasti titik-titik yang mungkin saja dilalui oleh Siena.

Sekantong kopi Ratamba sudah di genggaman. Jika benar analisanya, seharusnya ia dan Siena bisa bertemu di satu titik di desa Ratamba. Kopi favorit Devon dan harum kopi yang hampir selalu ada di ruangan Ibu Verona. Ratamba yang tidak jauh dari Dieng. Bukan Dieng destinasi sebenarnya, tapi Ratamba. Kopi terbaik dari Dieng.

“A Gumi,” Siena berkata segera setelah Gumi menerima teleponnya. Dari jauh, terdengar suara gembira Gumi yang sudah sekian lama tidak lagi ia dengar. Memang, rasanya ada yang hilang begitu Gumi mendengar suara Siena dan begitu pula sebaliknya.

“Na, kamu gimana kabarnya?” Gumi tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya begitu kembali mendengar suara Siena. Rasanya seperti sudah sekian lama tidak mendengar suara Siena, “Hati-hati-ya, Na.”

Gumi waktu itu menutup telepon dengan gugup. Khawatir sekali Siena mendengar suara kereta api. Tapi, untungnya gadis itu tidak membicarakan apa pun. Gumi juga tidak lupa memberikan pesan hati-hati selalu, ya, Na, pada Siena. Ia merasa tidak mungkin meninggalkan Siena sendirian. Sekali pun kemampuan bela dirinya di bawah rata-rata, tapi ia yakin ada hal lain yang bisa ia lakukan untuk Siena.

Ditatapnya kembali layar ponselnya: berita tentang kehilangan bos besar media pariwisata terkemuka di Indonesia. Hampir seluruh penjuru kini menanti-nantikan dimana Ibu Verona. Majalah khusus edisi tahunan yang terbengkalai, berbagai rapat yang ditunda, cancel acara liputan pariwisata, dan berbagai konflik lain hingga yang terparah: berita soal kemungkinan lay-off karyawan karena efisiensi budget yang semakin maksimal.

Siena pergi untuk itu semua, mencari dimana Ibu Verona. Ketika pada saat yang bersamaan, banyak orang-orang penting di kantor yang mendadak cuti mau pun tidak bisa masuk kantor. Ada apa? Sebuah misteri harus diselesaikan atau diakhiri. Bagi Gumi, tidak mungkin rasanya meninggalkan Siena sendirian. Tapi, untuk membantu Siena, tidak cukup hanya dengan mengikutinya dari belakang. Gumi harus berbalik dan mencegatnya dari depan, berputar arah karena tahu Siena butuh back up plan yang bahkan jauh dari apa yang dipikirkannya saat ini. Untuk itulah, Gumi berada di sana: membantu Siena, bukan hanya sekedar menyusul Siena.

*

Tepat ketika Siena hampir ingin menyerah, selintas di pikirannya terbayang soal foto yang selama ini menghantui hidupnya. Betapa ia ingin bertemu dengan kedua orang tuanya: merasakan belaian kasih sayang yang selama ini hilang entah kemana. Betapa inginnya ia memaki Devon yang menyia-nyiakan Ibu Verona sekali pun Ibu Verona bukan ibu kandungnya. Ingin sekali ia menantang Devon di hadapannya dan bertanya pada jutaan anak yatim piatu di luar sana tentang bagaimana inginnya mereka bertukar posisi dengan Devon sekali pun tahu bahwa ibu yang selama ini mengurusnya bukanlah ibu kandungnya.

Sepotong foto yang seolah berbicara. Bagaimana jika ia menyerah sekarang. Sekali pun tidak pernah bertemu dengan ibu kandungnya, tapi Siena tahu ia bisa mengecewakan Ibu Regina yang selama ini sudah merawatnya dengan baik. Ibu Regina hanya ingin agar ia dapat menyelamatkan Ibu Verona.

Samar-samar, dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki, ia melihat Devon berjalan semakin mendekatinya. Makin dekat hingga ia bisa mendengar dengan jelas setiap kata yang terlontar dari mulut Devon. Ia berkata, “Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot seperti ini dalam mencari dan menemukan Mama. Tapi, kamu sudah melangkah sejauh ini. Sadarilah bahwa tidak ada jalan untuk berputar balik.”

Seringkali Siena berpikir untuk apa ia melakukan semua ini. Sepenting apakah Ibu Verona untuknya sehingga ia rela bersusah payah untuk mencapai tempat ini. Mengorbankan banyak hal, tidak terkecuali Gumi yang sedang berusaha sendiri nan jauh di Jakarta.

Devon kemudian mengisyaratkan Kiev dan Agra untuk berhenti sejenak. Melepaskan Siena yang terbatuk-batuk hingga terbungkuk. Belum pernah ia merasa selemah ini. Tapi, entahlah rasanya sulit sekali jika harus dikeroyok oleh dua orang lawan yang tidak sepadan dengannya.

Lihat selengkapnya