HIMMEL [Pada Pertemuan Kedua]

halsa
Chapter #2

DUNIA MENDEKATKAN KITA

Rean sontak terkejut setelah melihat dengan jelas wajah gadis yang tengah terbaring di atas brankar di hadapannya itu. Seingatnya gadis berkulit putih porcelain dengan rambut panjang berwarna Golden Brown itu bernama lengkap Mentari Hadley Wirawan, adik kelasnya yang dulu sangat mengaguminya. Tak jarang gadis perempuan yang terbaring di atas brankar itu menyatakan perasaannya.

Rean mengingat gadis itu pernah berkata, “Tari suka kamu, Kak Langit.”

“Tapi gue enggak suka lo!” balasnya ketus.

Sedangkan Mentari yang sebenarnya berpura-pura pingsan mempersiapkan diri untuk membuka mata. Ia tidak bisa bertahan lama dengan kepura-puraannya yang menyiksa. Tidak ada jalan lain selain berpura-pura pingsan dengan kejadian saat tadi di lapangan yang memalukan.

“Di mana ini?” Mentari berujar lirih. Kedua matanya secara perlahan dibuka seraya memijit pelipisnya agar aktingnya tidak dicurigai.

Rean yang sedari tadi memperhatikan Mentari pun dengan segera mengalihkan pandangannya ke lain arah. “UKS,” balasnya jelas, singkat, padat.

Mentari bisa apa selain menggigit bibir bawahnya. Ia merasakan momen akward menimpanya selain kesialan yang menimpanya saat tadi di lapangan. Lebih sialnya laki-laki itu tak beranjak pergi sampai membuat Mentari menyudahi dramanya karena merasa tidak sanggup lagi.

“Lo pingsan di lapangan gara-gara gue.” Rean berujar tanpa melihat ke arah lawan bicara.

Mentari beringsut mendudukkan tubuhnya yang terbaring. “Makasih." Ia tersenyum tipis seraya menatap laki-laki yang tampak seperti orang buta karena tidak melihat lawan bicaranya. Momen akward ini membuat Mentari malu sendiri. Terlebih ia mengingat betapa centil dirinya saat dulu hanya untuk mendapat perhatian dari laki-laki yang sekarang berdiri di hadapannya.

“Oke.” Sekarang Rean menatap lawan bicaranya.

Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Berkahir di tiga detik tragedi saling bertatapan dengan pikirannya masing-masing. Tiga detik yang lalu Mentari sibuk dengan harapannya agar Rean tidak mengingatnya sama sekali. Namun, mata elang yang menatap Mentari datar membuat Mentari menciut dan memilih memalingkan wajahnya.

“Kak Rean.” Suara seorang perempuan yang baru memasuki ruangan memecahkan keheningan yang terjadi.

Atensi Mentari sekarang tertuju pada perempuan itu. Perempuan cantik berambut hitam panjang dengan wajah sedikit lesu yang memancarkan kelembutan. Mentari sempat menerka gadis itu memiliki ketidak percayaan diri karena terlihat pada wajahnya.

“Hai!” sapa perempuan itu ramah kepada Mentari.

“Hai!” Mentari tersenyum kikuk.

“Gue Vina, pacarnya Kak Rean,” ungkap perempuan itu mengenalkan diri. Hal itu tentu membuat Mentari nyaris tak berkutik. “Maaf ya, pacar gue emang ceroboh!”

"Gue—Mentari." Mentari memaksakan senyuman terbingkai di bibir ranumnya.

"Yuk, pergi." Rean meraih tangan Vina yang dibaluti kardigan merah jambu yang menutupi sebagian seragamnya.

Vina hanya mengangguk. "Kita pergi ya, Mentari."

Mentari hanya mengangguk menanggapinya. Laki-laki yang cuek dan datar itu sekarang sudah berpacaran. Padahal semua orang termasuk orang seperti Rean pun memiliki perasaan seperti manusia pada umumnya.

Perasaannya baik-baik saja karena Mentari memang tidak memiliki perasaan pada laki-laki itu. Hanya saja dengan status Rean sekarang Mentari merasa ada sedikit rasa kecewa terbesit dalam perasaanya.

"Kenapa dulu dia gak tertarik sama gue?" Mentari bermonolog seraya memainkan jari-jarinya. "Mungkin dulu masih kecil deh."

“Lo enggak pa-pa ‘kan, Tar, Sehat walafiat?!”

Lihat selengkapnya