“Tante sengaja minta mama kamu, agar kamu pindah sekolah. Bukan cuman jaraknya saja yang lebih dekat, tapi, karena di sana ada Rean yang akan jagai kamu.” Agni memecahkan keheningan yang terjadi dalam taxi yang tengah melaju dengan tenang di jalanan aspal. Ia menatap wajah Mentari saksama yang duduk bersampingan dengannya. “Kamu tenang saja, selama kamu tinggal di rumah Tante kamu akan baik-baik saja. Rean jarang ada di rumah, tinggal sama oma. Jadi Tante seneng banget kamu bersedia untuk tinggal sama Tante.”
Mentari yang jarang berinteraksi dengan orang yang lebih tua merasa kaku, tetapi ia membingkai senyuman indah sebisa mungkin menutupi rasa kaku. “Tante, makasih mau menerima kehadiran Tari.”
Bibirnya yang membingkai senyuman jauh dari perasaannya yang begitu sakit menyadari bahwa dirinya dititipkan begitu saja pada orang lain. Mentari merasa bahwa dirinya tidak memiliki kesempatan untuk mengakrabkan diri dengan mama. Walaupun ini keinginannya sendiri untuk menetap, nyatanya ia tidak ingin berpisah dengan mama. Mama tidak paham perasaannya, tidak paham apa keinginannya.
"Tante seneng banget kok, Sayang,” imbuh Agni yang membuat Mentari lagi-lagi tersenyum. “Bukannya kalian pernah satu sekolah juga ya, waktu SMP?” tanyanya kemudian.
Mendengar itu seketika Rean yang tengah mengemudikan mobil menginjak rem secara mendadak menyebabkan seisi mobil hampir terjungkal. Untung saja mobilnya tidak berada di tengah-tengah jalan raya.
“Rean! Kalo mau mati sendiri aja!” Agni mengelus-elus dadanya.
“Sorry, Mam .... “ Rean yang berada di balik kemudi bercicit.
Agni hanya mendengkus menanggapinya. Sedangkan Mentari hanya mengelus dadanya dari semenjak mobil yang mereka tumpangi itu tiba-tiba berhenti.
Lantas Rean kembali menjalankan mobilnya. Sekilas Rean melirik kaca membuat matanya bertemu dengan mata Mentari. Sorot mata mereka terlihat datar.
Beberapa saat kemudian mobil yang Rean kendarai memasuki pekarangan sebuah rumah besar bertema klasik modern. Sampai akhirnya mobil pun berhenti di pelataran rumah.
“Rean, bawakan barang-barang Mentari,” pinta Agni sembari turun dari mobil.
Rean yang juga hendak turun dari mobil memelas. “Iya, Mam.”
Melihat Mentari yang hendak melangkah mendekati bagasi membuat Agni dengan cepat menahannya. “Biar Rean aja, Tar.”
Mentari mengulas senyumnya. “Gak pa pa kok, Tan, barang bawaan Tari lumayan banyak, kasihan Kak Langit.” Tanpa sadar ia menyebut Rean dengan panggilan masa lalunya.
Agni tersenyum ramah. “Ya sudah, kalau begitu Tante masuk duluan ya, kebelet pipis. Dan barang-barang kamu yang diantar tadi pagi udah ada di kamar kamu, ya.” Penjelasannya membuat Mentari mengangguk paham.
Lantas Mentari perlahan mendekati Rean yang tengah mengeluarkan barang-barangnya dari dalam bagasi. Canggung, itulah yang Mentari rasakan sekarang. “Biar gue yang bawa,” pintanya sembari mengambil alih sebuah koper berwarna pink yang Rean pegang.
Tidak ada sepatah kata pun dari laki-laki yang masih mengenakan seragam yang sama dengan yang Mentari pakai. Dia melengos pergi begitu saja sembari menarik sebuah koper berwarna hitam dengan sebuah tas berisikan barang bawaan Mentari.