Setelah berdebat singkat dengan mamanya akhirnya Rean mengalah untuk berangkat bersama dengan Mentari.
Pagi itu membuat Rean merasa kesal pada mamanya. Bagaimana tidak, di waktu pagi-pagi buta mama meneleponnya yang berada di rumah oma untuk segera datang ke rumah yang berjarak lumayan jauh. Dia datang ke rumah hanya untuk berangkat bersama dengan Mentari ke sekolah. Tidak ingin menjadi anak yang di cap durhaka Rean menurut saja walaupun dalam hatinya terus mengumpat.
Sekarang Mentari dan Rean sudah berada di sekolah. Mereka pergi ke sekolah dengan Rean yang membawa motor sport bike hitam kesayangannya. Tentu saja hal itu mengundang banyak pasang mata yang menyoroti ketika motor yang Rean kendarai memasuki kawasan sekolah. Pasalnya para siswa-siswi yang melihat kebersamaan mereka berbisik-bisik karena biasanya Rean hanya memboncengi Vina -pacarnya-. Itu pun juga hanya saat pulang sekolah saja.
Terkenalnya nama Langit Bintang Andrean di sekolah bukan hanya karena ketampanan dan sikapnya yang acuh saja, tetapi karena Rean adalah seorang kapten basket sekolah yang enggan diusik kehidupannya, juga salah seorang anggota dari komunitas motor yang hobi melakukan Sun Mori ataupun Night Ride.
Setelah menyimpan kedua helm hitam di bagian kaca spion Rean segera melangkahkan kakinya dengan satu tangannya yang memangku jaket kulit. Mentari yang merasa risi pun mengekori Rean dari belakang.
Rean tiba-tiba menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Mentari. “Ngapain lo ngikutin gue?”
Mentari ikut menghentikan langkahnya dan menatap Rean datar. “Siapa yang ngikutin?!”
Rean memicingkan kedua matanya menatap Mentari hunus. “Lo—“
“Langit!” Suara itu membuat ucapan Rean terputus.
Kehadiran seorang gadis berambut coklat dengan perkulitan putih yang tadi berkata itu sempat membuat Mentari sontak terkejut. Gadis itu— Adeline Adisty, selebgram yang diikutinya karena terinspirasi dari caranya berpenampilan.
Adeline menatap Mentari ramah, lalu beralih menatap Rean dengan senyum yang merekah. “Dia siapa?”
Rean terlihat jengah mendapati Adeline. Lantas dia melenggang pergi begitu saja sebelum akhirnya berkata, “Jangan ganggu!”
Adeline menghembuskan napas kasar menerima sikap Rean. Lantas ia menatap Mentari yang berdiri di sampingnya. “Lo ....”
“Mentari!” Mentari menyahuti, lantas tersenyum tipis.
Hal itu membuat Adeline pun ikut tersenyum. “Gue Adeline, salam kenal.” Ia mengulurkan tangannya berniat untuk berjabat tangan yang langsung disambut baik oleh Mentari.
Selepas berjabat tangan secara singkat bersama Adeline, Mentari pamit undur diri. Dalam hatinya terus bertanya ‘apa hubungannya Adeline dengan Rean? Dan apa mungkin ... panggilan Langit hanya Adeline saja yang memanggilnya karena sebagai orang spesial? Namun, gadis yang berstatus sebagai pacar Rean adalah Vina’.
Karena terus memikirkan pertanyaan yang ada di benaknya membuat Mentari hampir saja berciuman dengan tiang. Jika saja seseorang tidak menahan tubuhnya kemungkinan besar hal yang sangat memalukan akan terjadi.
“Hati-hati, Mentari.”
Suara yang tidak lagi asing bagi Mentari membuatnya sontak menatap seseorang di sampingnya itu. Seorang laki-laki yang terlihat berwibawa dengan wajah tampannya yang baru saja menyelamatkannya dari hal memalukan.
“Masih ingat?” Dengan senyuman ramah laki-laki itu menatap Mentari saksama.
“Kak Zidane!” sahut Mentari spontan, lantas tersenyum semringah.
Laki-laki yang dipanggil Zidane itu terkekeh. “Setelah bertemu satu tahun di bangku SMP, setelah berpisah selama tiga tahun, jarang ada kabar ya.”
“Gue hampir lupa kalo lo sekolah di sini juga!” Mentari memekik. Tidak ada alasan untuk bersikap formal dengan laki-laki yang pernah menjadi temannya, walaupun seorang kakak kelas.
Lagi-lagi Zidane terkekeh. “Gue kehilangan kontak lo, Tar, jadi enggak ada kabar.”
Sembari melangkahkan kakinya Mentari berujar, “Sosial media gue masih yang dulu kok.”
Zidane yang melangkah di samping Mentari hanya terkekeh, tidak menanggapinya.