Rean yang sudah berada di lantai dua rumahnya mulanya tidak peduli dengan Mentari yang kesulitan menaiki tangga, karena kakinya terluka akibat kecelakaan kecil yang tak terduga saat di perjalanan pulang. Dan akhirnya dia kembali menuruni tangga hanya untuk membantu Mentari.
Melihat Rean menghampiri membuat Mentari hanya geming menatapnya.
Sedangkan Rean menatap Mentari datar. “Butuh bantuan?”
Mentari hanya mengangguk menanggapinya. Detik kemudian ia dibuat terkejut karena Rean tiba-tiba menggendongnya ala bridal style.
“Gue Cuma niat nolongin!” Rean yang tampak datar itu mulai melangkah menaiki tangga.
Sedangkan Mentari memilih untuk tidak menanggapi ucapan Rean. Dan dengan jantungnya yang entah mengapa berdegup kencang perlahan ia melingkarkan tangannya ke leher Rean. Sesekali hatinya memuji wajah Rean yang terlukis indah. Rahang keras Rean pun bisa dengan jelas dilihatnya.
“Gue gak ke rumah sakit karena gue baik-baik aja, gak tau lo separah ini,” ujar Rean kemudian yang tengah fokus menaiki tangga dengan tatapannya yang lurus ke arah depan.
“Gue gak parah!” Mentari mengelak.
“Lo kesulitan berjalan,” sahut Rean tanpa menatap Mentari. “Dan lo jangan mikirin kecelakaan tadi, gue janji bakalan hati-hati. Lo tenang aja.”
“Gue tenang,” tukas Mentari.
Rean yang sudah berhasil melalui tangga pun menghentikan langkahnya, lantas menatap wajah Mentari dengan raut wajah usil. “Kalo lo tenang kenapa gue bisa ngerasain detak jantung lo?”
Mendengar itu spontan Mentari turun dari pangkuan Rean. “Rese!” Ia menatap Rean geram.
Rean mengerutkan keningnya. “Jangan-jangan lo masih suka ya sama gue? Bukannya waktu SMP lo ngejar-ngejar gue?”
Mentari hanya bisa membelalakkan matanya. Harapannya agar Rean lupa dengan masa lalu itu sirna. “Lo .... “ Mentari mengepalkan kedua tangannya menahan kesal. “Dulu, dulu! Sekarang, sekarang! Bego emang gue bisa suka sama lo!”
Tanpa membalas ucapan Mentari, Rean melenggang pergi begitu saja. Bibirnya tersenyum tipis setelah membelakangi Mentari.
Sedangkan Mentari bergeming menggigit bibir bawahnya menatap kepergian Rean. Tidak ada alasan untuk Mentari tidak merasa malu.
**********
“Kenapa harus ketemu lagi sih sama dia! Mendingan gue mati penasaran daripada—“ Mentari tidak melanjutkan ucapannya karena mendengar bunyi ketukan pintu kamarnya. Ia yang tengah duduk bersandar di ranjangnya kemudian berteriak, “Masuk aja!”
Perlahan pintu kamar pun terbuka dan memperlihatkan sosok Rean dengan wajah— entahlah. Dia seperti seseorang yang tidak berniat hidup dan mati pun enggan.
“Ngapain lo ke sini?!”
Rean tidak menanggapinya, dengan wajah datarnya dia berjalan mendekati ranjang dan langsung duduk di samping Mentari.
“Luka atau patah?” tanya Rean dengan suara khasnya yang serak basah.
Susah payah Mentari menelan salivanya karena harus bertatapan dengan salah satu ciptaan Tuhan yang elok.
“Lo patah enggak?” Rean memperjelas ucapannya.
“Enggak!” sahut Mentari cepat, “cuman baret doang.”