Pagi ini Rean mengendarai motornya dengan kecepatan rata-rata, memboncengi Mentari. Kedua insan itu terlihat damai dengan pikirannya masing-masing di pagi Senin yang dibenci sebagian orang. Sampai akhirnya motor pun berhenti tepat di parkiran sekolah yang memperlihatkan deretan motor dan mobil yang terparkir. Tidak seperti kemarin yang terlihat hanya beberapa kendaraan saja yang terparkir.
“Kak Rean!” Vina berteriak sembari melambaikan tangannya ke arah Rean.
Dan Rean pun mengulas senyumnya menanggapi ucapan Vina. Lantas mereka melangkah untuk memperdekat jarak.
“Gue dikacangin!” Mentari memberengut kesal. Lantas ia melangkah pergi dari parkiran. “Gue tuh paling kesel ya, dijadiin kamcong!”
“Bukan cemburu?” sahut seseorang kemudian.
Spontan Mentari pun menghentikan langkahnya, menatap seseorang yang tadi menyahuti ucapannya.
“Lo—“ Adeline, seseorang itu melangkah mendekati Mentari. “Ada sesuatu ‘kan sama Rean?”
Mentari terdiam sejenak, lantas menggelengkan kepalanya. “Gak, kita—“
“Satu rumah?” sela Adeline.
Mentari yang sebenarnya terkejut berusaha untuk terlihat tenang. “Tapi dia tinggal sama omanya.”
Alih-alih menjawab Adeline malah menarik tangan Mentari, mengajaknya entah ke mana.
“Kak—“ Mentari yang sebenarnya malas berurusan dengan Adeline terpaksa harus mengikutinya. Sampai akhirnya ia berada di lorong sekolah yang tampak sepi.
“Sans aja,” sahut Adeline sembari melepaskan tangan Mentari.
“Gue gak mau terlibat apa pun,” ujar Mentari to the point. Bagaimanapun juga ia mulai berfirasat buruk mengetahui Adeline mantan Rean itu akan memanfaatkan kehadirannya.
Adeline tampak tidak peduli dengan perkataan Mentari. Ia tertunduk, sembari menggigit bibir bawahnya.
“Kalo gak ada yang penting, gue cabut,” ujar Mentari seraya melangkah pergi.
Namun, dengan cepat Adeline menahan tangan Mentari. “Waktu itu gue gak mau publish hubungan gue sama Rean.”
Mentari dengan posisi yang membelakangi Adeline lantas menghadap ke arahnya, berniat mendengarkan apa yang akan diucapkannya.
“Gue difitnah selingkuh sama seseorang yang entah siapa.” Adeline menatap Mentari saksama. “Gue gak niat buat memprovokasi lo, Tar, gue cuma pengen cerita.”
“Tapi gue gak mau terlibat,” tukas Mentari dengan sorot mata yang datar.
“Tar.” Kedua mata Adeline mulai berembun. “Asalkan lo mau bantu gue jelasin semuanya sama Rean, gue bakalan bantuin lo ketemu sama papa lo.”
Sontak Mentari geming dengan perkataan Adeline. Ia menatap Adeline dengan tatapan kosong, mengingat perjuangannya untuk melupakan hal buruk dalam hidupnya terasa sia-sia jika siapa pun mengingatkannya pada papa.
“Gue tahu,” lanjut Adeline dengan lirih.
Mentari dengan perasaan sendu bercampur emosi mengulas senyum palsunya. “Gak perlu, Kak, gue udah bahagia.” Lantas ia melenggang pergi begitu saja, tidak peduli dengan sosok Adeline, kakak kelasnya.
Sedangkan Adeline diam terpaku dengan kedua tangannya yang perlahan mulai mengepal. “Gue yakin lo bakalan benci sama dia.”