Nikmati sebelum akhirnya ditampar realita
***
Suasana di dalam taxi diselimuti keheningan, hanya musik selow yang di putar oleh sopir itu yang terdengar.
Kedua remaja yang duduk di jok penumpang itu yang tak lain adalah Mentari dan Rean sama-sama terdiam. Mereka duduk sejajar saling berjauhan dengan tangannya yang kompak dilipat di depan dada.
“Toko buku,” ujar Rean kemudian, memecahkan keheningan.
“Aden bicara sama saya?” tanya sopir yang tetap fokus mengemudi itu.
Rean mengangguk pelan. “Ya.”
“Siap!”
“Ngomong yang bener, bikin orang puyeng aja!” Mentari bergumam pelan seraya memandang ke arah luar.
Rean yang mendengarnya tampak tidak peduli. Sampai akhirnya taxi pun memelan dan kemudian berhenti.
“Lo mau ngapain sih ke sini?” tanya Mentari setelah keluar dari taxi. Tidak mendapatkan balasan dari Rean yang baru saja membayar taxi itu Mentari pun mendengkus kesal. “Sok’ cool banget sih jadi orang!”
Rean yang masih tidak peduli melangkahkan kakinya memasuki sebuah bangunan yang dijadikan sebagai toko buku. Mentari yang terlihat kesal pun terpaksa membuntuti.
Terlihat deretan buku-buku yang terpampang rapi di rak setelah mereka memasuki toko. Mentari yang mengekori Rean tiba-tiba berhenti di saat Rean menyambar sebuah buku sejarah yang lumayan tebal.
“Anak IPA ngapain beli buku sejarah?” tanya Mentari, menatap Rean penasaran. Akan tetapi ia tidak mendapatkan balasan dari laki-laki yang tidak ragu lagi untuk dijuluki kulkas berjalan. “Bener-bener bisu tuh orang!”
Lantas Rean pun beralih tempat mengambil sebuah buku yang membahas ilmu kimia, terakhir dia mengambil buku fisika, dengan Mentari yang masih setia mengekorinya dengan wajahnya yang menekuk. Lantas Rean mendekati rak buku novel sejarah dan menyambar sebuah buku yang tercetak tebal dengan judul ‘Roro Mendut’.
“Roro Mendut? Lo beneran mau beli itu?!” Mentari tertawa hambar dengan keningnya yang mengerut. “Muka lo gak pantes buat baca tentang cinta.”
“Kalo lo mau beli, gue yang bayar!” sahut Rean ketus.
Seketika mata Mentari berbinar. Tak membuang waktu ia pun langsung menyambar sebuah buku novel dengan genre romansa.
“Syaratnya, mulut lo lakban!” pungkas Rean sebelum akhirnya melenggang pergi membuat Mentari memberengut kesal.
**********
Lapar diperutnya sekarang sudah teratasi. Jika saja Mentari tidak berbicara pada Rean bahwa dirinya lapar, mungkin saja perutnya tidak akan terselamatkan. Tidak mungkin Rean seperhatian itu, menanyakan keadaannya.
“Lima menit lagi.” Rean yang duduk berseberangan dengan Mentari terlihat suntuk.
Mentari yang hendak menyuapkan burger ditangannya berdecak sebal. “Orang yang lagi makan tuh jangan diburu-buru!” Lantas ia melahap burger itu.
“Males gue liat lo!” cetus Rean, memalingkan wajahnya.
“Kalo gak males lo udah jatuh cinta,” sahut Mentari di sela makannya. Entah memiliki keberanian dari mana ia berkata seperti itu.
“Lo mau godain gue?” tukas Rean seraya menaik-turunkan kedua alisnya.
Mentari mendelik. “Gak! Lo-nya aja yang kepedean. Dulu pas SMP gue masih bolot, sampai bisa-bisanya gue yang cantik gini harus suka sama lo!”
Rean terkekeh. “Cantikan juga pacar gue!”