Rutinitas pagi rutin kembali Mentari jalani. Setiap pagi menunggu Rean datang menjemputnya untuk ke sekolah. Setelahnya ia akan merasakan suasana yang tak asing lagi, menyatu dengan dinginnya angin Jakarta di pagi hari. Suasana hening antara Mentari dan Rean yang padahal bising karena bisingnya kendaraan lain yang hilir mudik. Dan mereka akan berakhir di parkiran sekolah.
“Lo gak flu?” tanya Rean setelah menyimpan helm di kaca spion yang biasa dikenakannya saat berangkat ke sekolah.
“Gak.” Mentari menggelengkan kepalanya. “Kalo gue flu emang lo peduli?”
Rean tersenyum simpul. “Lo tanggung jawab gue untuk di jaga. Mama sama ortu lo nitipin lo yang rese sama gue.”
“Rese apanya?! Gue gak ngerasa repotin lo!”
Alih-alih menjawab Rean malah terkekeh memecahkan keheningan di parkiran sekolah itu. “Sorry ya, Tar, pulang sekolah gue pesenin taxi buat lo,” ujarnya kemudian.
Mentari mengerutkan keningnya, menatap Rean saksama. “Why?”
“Gue harus nemenin Vina check up ke rumah sakit,” balas Rean santai.
Mendengar itu Mentari geming. Lambat-laun keceriaan di wajahnya memudar menyadari bahwa Rean memiliki prioritas. Bukan karena mendengar Vina harus check up ke rumah sakit ia kehilangan keceriaannya. Ada rasa kecewa yang singgah sejenak di perasaannya dengan kenyataan itu. Lantas kecewa itu pergi di saat menyadari bahwa Rean tidak lebih dari sekedar menjaganya.
Melihat Mentari geming Rean pun meraih pundaknya yang berdiri di hadapannya. Hal itu membuat Mentari seketika sadar dari lamunannya.
“Kenapa?” Rean memicingkan kedua matanya.
Mentari menggelengkan kepalanya, lantas tersenyum tipis. Akan tetapi senyumnya seketika memudar di saat melihat seorang pria dengan setelan jas yang rapi berada tak jauh dari tempatnya. Pria itu terlihat begitu akrab dengan Vina.
“Lo kenapa sih?” Suara Rean itu membuat Mentari menatapnya.
Sekilas Mentari menatap pria yang tengah bersama dengan Vina, lantas berkata, “Itu bokap Vina, ya?”
Rean yang baru menyadari kehadiran Vina bersama pria itu pun mengangguk. “Kenapa emang?”
Mentari menggelengkan kepalanya. “Gue duluan.” Lantas ia melangkah tergesa-gesa meninggalkan parkiran sekolah.
Rean yang berdiam diri hanya menatap kepergian Mentari tanpa mencegahnya. Belum menerima jawaban yang puas dari Mentari membuat Rean merasa penasaran. Lantas dia beralih menatap Vina bersama dengan papanya —Arya. Dia melangkah mendekati kedua orang itu yang tengah berbincang.
Setelah Rean menghampiri, Arya menyambut kehadiran Rean dengan baik. Arya percaya pada Rean untuk menjaga putrinya. Hal itu membuat Vina merasa bahagia berada di antara kedua laki-laki yang menyayanginya.
“Makasih,” ucap Vina lirih, menatap Rean dan papanya. “Vina gak takut lagi buat hadapi kanker paru-paru ini.”
Rean dan Arya sama-sama terkekeh mendengar ucapan Vina. Pagi yang harmonis untuk seorang Vina Widya Wirawan.
**********
Melangkah lunglai dengan tatapan kosong ke arah depannya membuat Mentari hampir saja bertabrakan dengan Adeline.
“Sorry—“
“No problem,” sahut Adeline cepat.
Dirasa tidak ada yang penting Mentari segera bergegas pergi.
“Karena gue sayang sama Rean!” Adeline tiba-tiba berteriak membuat Mentari seketika menghentikan langkahnya.
Mentari membalikkan tubuhnya, menatap Adeline penuh pertanyaan.
“Gue cari tau seluk-beluk Vina.” Adeline melangkah menghampiri Mentari. “Dia anak dari papa lo sendiri, Mentari.”
Mentari yang mendengar itu tidak bereaksi apa pun. Alih-alih terkejut ataupun bersedih Mentari malah mengulas senyumnya. “Gue gak ngerasa terganggu.”
“Bantuin gue.” Adeline to the point dengan tujuannya. “Lo tau gak gimana sakitnya kehilangan orang yang kita sayangi? Terlebih orang itu masih bisa kita lihat dengan mata kepala sendiri.”
Mentari mencerna ucapan Adeline yang kentara untuknya. Ini ... tentang papa. Papa yang walaupun dianggapnya sebagai pemicu kehancuran dalam hidupnya bagaimanapun juga pernah hadir dalam hidupnya. Papa yang jarang berada di rumah membuatnya selalu bahagia jika saatnya papa datang menghiburnya. Benci dan sayangnya pada papa tengah berperang.
“Mentari.” Adeline meraih satu tangan Mentari. “Tolong jelasin sama Rean, kalo gue bener-bener sayang sama dia. Jelasin sama Rean kalo gue gak ngelakuin kesalahan itu. Gue ... dijebak.” Adeline dengan wajahnya yang sendu memaksakan diri untuk tersenyum. Lantas ia melangkah pergi dengan kedua matanya yang mulai berembun, meninggalkan Mentari yang hanya mematung.
“Tari, lo punya hubungan apa sama kak Adeline?!” Raya yang baru saja datang menghampiri Mentari langsung menanyakan hal yang membuatnya penasaran.
Mentari terhenyak mendapati Raya berada di dekatnya. Dan jangan lupakan Elza yang sudah seperti bodyguard mematung di samping Raya dengan wajah datarnya. “Lo bisa gak sih permisi dulu!?”