“Kalo malam ini kita ikut anak King Tiger Night Ride seru deh kayaknya,” ucap Raya antusias, menatap satu persatu kedua temannya.
“Ngundang penyakit malam-malam main motor! Mendingan belajar.” Elza mendelik sewot. “Ngabisin waktu!”
“Ya elah, Za, kalo lo ada masalah sama abang gue jangan bawa-bawa kek gituan lah!” Raya tak kalah sewot.
Mentari yang sedari tadi terdiam di mejanya menghela napas panjang. “Kalian tuh kenapa sih pagi-pagi ngomongin hal yang gak gue tahu?”
“Biasa si Elza, dideketin sama abang gue risih, dicuekin marah-marah!” cetus Raya.
Sekilas Mentari melirik Elza, lantas terkekeh. “King Tiger apa sih?”
“Ya ampun, Tar, lo kudet!” Raya berdiri dari duduknya, beralih duduk di meja Mentari. “King Tiger itu nama grup motor.”
“Kak Rean?”
“Yes!”
Mentari ber-oh ria. “Jadi lo sering ikut Night Ride?”
Raya menghembuskan napasnya kasar. “Gue gak pernah diajak sama abang gue ataupun sama gebetan gue.”
Mentari terkekeh. “Sabar, Ray, menghadapi kesulitan meluluhkan cowok kulkas.”
“Kisah cinta lo rumit, Ray.” Elza menimpali.
“Za, lo sendirinya juga rumit!” Raya dengan cepat menyahut membuat Elza mengerutkan keningnya. “Harus jaga perasaan padahal nyaman,” lanjut Raya, lantas tertawa puas membuat Elza merotasikan bola matanya jengah.
Mentari yang hanya geleng-geleng kepala mengoreksi ucapan Raya. Ada benarnya dengan apa yang Raya katakan bahwa menjaga perasaan kepada orang yang membuat kita nyaman itu sulit.
**********
Karena Mentari hanya berteman baik dengan Raya dan Elza membuat jam istirahatnya kali ini merasa suntuk. Kedua temannya itu sekarang tengah mengikuti rapat ekskul dance modern.
Mentari melangkah gontai merasa tidak semangat untuk menjalani hari. Di tengah kebisingan para murid justru Mentari merasa sunyi. Sunyi di tengah keramaian.
Karena suasana yang sunyi itu membuat Mentari mengingat kejadian di masa lalu sebelum kedua orangtuanya benar-benar berpisah.
“Tepati ucapan lo, Arya! Mentari bukan anak lo lagi!” Ucapan mama itu berdengung jelas di pendengaran Mentari.
Ia mengingat setelah itu dirinya pergi ke balkon kamarnya. Terduduk di sebuah kursi yang disediakan di sana, menatap keindahan langit di malam itu.
Ia termenung sembari memeluk kedua kakinya. Menunggu kedatangan Rean yang akan datang ke rumahnya untuk pertama kalinya. Akan tetapi Rean tak kunjung datang ke rumahnya. Setelahnya ia benar-benar tidak bertemu lagi dengan Rean.
Lantas Mentari tersadar dari lamunannya, menghentikan langkahnya tepat di dekat lapangan basket. Ia geming menatap kebersamaan Rean dan Vina di tepi lapangan. Mereka tengah berbincang hangat.