Mentari yang hendak menaiki taxi mendapati Adeline yang tengah melangkah gontai seraya memegangi perutnya. Hal itu membuat Mentari dengan segera datang menghampiri.
"Kak, lo kenapa?" tanyanya.
Adeline yang sedikit berjongkok menopang pada pundak Mentari demi menguatkan diri agar tetap berdiri. Wajahnya terlihat begitu pasi dengan tubuhnya yang bergetar hebat. "Anterin gue—" Adeline kehilangan kesadarannya membuat Mentari kewalahan.
Mentari yang ambruk di atas jalanan aspal menahan tubuh Adeline berteriak memanggil satpam sekolah juga supir taxi untuk membantunya. Dan kejadian itu mengundang para murid yang baru saja keluar dari gerbang sekolah.
Setelah Adeline di bawa ke dalam taxi Mentari pun segera meminta pak supir untuk membawanya ke rumah sakit terdekat.
Di sepanjang perjalanan Mentari merasa cemas. Hatinya yang lembut dan tidak tegaan merasa kasihan dengan nasib yang menimpa kakak kelasnya itu.
"Gue sering kayak lo, karena penyakit maag. Rasa sakit itu hilang, tergantikan rasa sakit karena tidak diperhatikan," ucap Mentari lirih seraya menatap Adeline yang duduk bersampingan dengannya.
Memori dalam ingatannya berputar seperti film kelabu. Di mana ia menahan rasa sakit seorang diri di perutnya. Mama yang saat itu belum menikah lagi pergi bekerja dan meninggalkannya di rumah seorang diri. Mama yang selalu pulang malam tidak berinsiatif menggunakan jasa ART.
Walaupun pada akhirnya ia berhasil melewati hidupnya, tapi rasa benci terhadap kedua orang tuanya tak kunjung menghilang. Kemanakah mereka saat dirinya terpuruk? Dan ke mana mereka saat ini? Apa mereka perduli?
Mentari." Adeline yang mulai sadar memangil nama Mentari pelan membuat Mentari tersadar dari lamunannya.
"Tolong—" Kedua bibir Adeline yang lemah mulai bergetar, "bantu gue buat minta maaf."
Mentari yang tidak tahu apa masalah yang sebenarnya terjadi antara Adeline dan Rean hanya bisa mengangguk. Demi membuat Adeline tenang.
———————
Mentari yang tengah duduk di kursi tunggu di dekat ruangan yang berisikan Adeline melihat Rean datang menghampiri dengan wajah datarnya. Dalam hatinya terus bertanya apa yang Rean lakukan di rumah sakit ini? Sungguh suatu kebetulan mereka dipertemukan di rumah sakit ini.
"Lo—"
"Lo ngapain di sini?!" Rean yang terlihat marah menyela ucapan Mentari. Rean benar-benar terlihat serius. Tidak tampak sedikit pun keramahan dalam raut wajahnya.
Mentari terkesima yang membuatnya sontak beranjak dari duduknya. Dia menatap Rean nanar yang menatapnya marah.
"Lo gak usah ikut campur urusan gue sama Adeline!"
Mentari yang mulanya terdiam tidak terima dengan perlakuan Rean. Lantas ia berteriak, "Gue gak tahu apa-apa!"
"Makanya lo diem aja!" Bentakan Rean mampu membuat perasaan Mentari terluka.
"Maksud lo apa?! Apa alasannya lo marah sama gue?!"
"Kak Rean!" Vina yang baru saja datang berteriak. Dia membawa Rean melangkah mundur, menjauh dari Mentari.
Rean dengan dadanya yang kembang-kempis masih menatap Mentari marah. "Gue peringatkan, lo jangan ikut campur!"
"Udah Kak, udah!" Vina berteriak memohon. "Ini di rumah sakit, Kak, jangan membuat keributan!"
Rean tidak lagi mengeluarkan sepatah kata pun. Lantas dia melenggang pergi begitu saja bersama Vina. Meninggalkan Mentari tanpa alasan yang jelas.