Perasaan Vina semakin gundah saat Maureen yang membawa diary book miliknya memanggil-manggil nama Rean yang tengah bermain basket. Tidak ada rasa malu Vina mengejar Maureen yang membawa diary book-nya sampai akhirnya berhenti di tepi lapangan basket.
"Kak, aku mohon, Kak, jangan." Vina memohon sembari terus berusaha mengambil diary book dari tangan Maureen. Namun usahanya berakhir sia-sia.
"Rean, camp here!" Maureen lagi-lagi berteriak karena Rean mengacuhkannya. "Ada puisi indah buat lo!" Lantas ia menunjukkan diary book ke arah Rean membuat Rean terlihat murka.
"Kak aku mohon, aku rela lakuin apa pun, Kak." Vina menunduk mohon dengan kedua tangannya mengguncang satu tangan Maureen.
Alih-alih menanggapi Vina, Maureen malah menyambut kedatangan Rean dengan senyum simpul. "Mau tau siapa fans terberat lo, Ren?"
Sekilas Rean menatap Vina yang tengah di bully. Lantas dia mengambil diary book Vina dari tangan Maureen dengan kasar. "Lo harusnya tau, gue sama Vina itu deket!"
Maureen terkekeh. "Deket apanya? Lo gak takut dimarahin sama Adeline sayang? Dan lo baca deh isi diary book Vina yang puitis banget."
Rean dengan kasar mencengkram kuat satu tangan Maureen. "Gue udah gak ada hubungan apa pun lagi sama temen lo!" Lantas Rean menghempaskan tangan Maureen dengan kasar. "Selama gue menjalani pengobatan, gue lebih dari sekedar mengenal sama Vina. Dan perlu lo tau, kita udah pacaran."
Maureen membulatkan matanya, melirik Vina di sampingnya yang tengah menunduk.
"Lo jangan berani-berani ganggu Vina! Urusannya sama gue!"
"Lo drama?" Maureen bersedekap dada semakin mendekatkan diri pada Rean. "Demi menyelamatkan Vina yang dipermalukan di depan semua orang, lo rela berpura-pura?"
Sontak Rean pun mendorong tubuh Maureen kasar. "Lo siapa gue, Maureen?! Lo gak tau apa-apa tentang gue!"
Maureen hanya berkutik tidak berkata apa-apa.
Rean meraih tangan Vina dan membawanya ke tengah lapangan. Ia berhadapan dengan Vina, mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk.
"Drama lo, Rean, gak lucu!" Maureen di tepi lapangan berteriak lantang.
Rean mengedarkan pandangannya ke sekeliling yang ternyata banyak orang yang menyaksikan. "Siapa pun yang ganggu Vina, itu berurusan sama gue! Gue berani patahin leher lo semua yang berani ganggu pacar gue, Vina!!" teriaknya.
Orang-orang mulai berbisik-bisik, termasuk teman-teman Rean sendiri. Sedangkan Vina kembali menunduk dengan kedua tangannya yang meremas roknya kuat.
Lantas Rean meraih lengan Vina, membawanya ke dalam pelukannya dan menciumi puncak kepalanya. Hal itu membuat semua orang bersorak heboh. Terkecuali dengan Maureen yang memberengut kesal dan melenggang pergi begitu saja.
Vina yang sedari tadi terdiam pun menitikkan air matanya. Entah apa yang membuatnya bersedih.
"Jadi gitu ceritanya." Raya yang dengan detail menceritakan tersebarnya hubungan Rean dan Vina mengulas senyumnya menatap Mentari yang menyimak tengah merenung.
"Mentari, how are you?" Elza berhasil menyadarkan Mentari dari lamunannya.
"Hah?!" Mentari menatap keduanya yang duduk bersebrangan dengan kening mengerut.
"Lo dengerin gak gue cerita panjang lebar?!" tanya Raya, mulai terlihat geram.
"Iya, gue denger kok." Mentari mencebik.
"Kak Maureen itu sering banget bully si Vina," ungkap Raya kemudian. "Temen sekelasnya sih pada baik kalo ada butuhnya."
"Kalo gak butuh?"
"Ya gitu, di acuhkan karena sikapnya yang pendiam. Kadang-kadang di bully juga."
Mentari hanya mangut-mangut. Lantas ia kepikiran dengan apa yang pernah dilihatnya saat di rooftop sekolah. "Kak Maureen gak pernah dilaporin ya?"
"Diam-diam dong si Vina dirundung. Gue juga tau dari temen ekskul gue yang satu kelas sama Vina," sahut Raya. "Mereka gak berani laporin kak Maureen, karena diancam. Gimanapun juga kak Maureen orang berkuasa di sekolah ini karena bokapnya!"
Elza yang sedari tadi fokus pada makannya berdecak. "Kapan abisnya sih makanan kalian, ngomong terus!"
"Ih, sewot banget lo, Za!" sungut Raya yang duduk bersampingan dengan Elza.
Mentari hanya terkekeh. Lantas ia memilih untuk menyedot minuman yang dipesannya membasahi kerongkongannya yang terasa kering.