"Lo kok baru pulang? Gue pulang dari sepuluh menit yang lalu."
Menadapati pertanyaan dari Rean itu wajar membuat Mentari merasa kesal. Jelas-jelas ia ditinggal saat tadi di sekolah hanya untuk mengantarkan Vina pulang. Menunggu kendaraan untuk bisa mengantarkannya pulang tidak semudah yang dibayangkan. Menunggu adalah hal yang paling Mentari benci dalam hidupnya. Karena merasa lelah Mentari memilih mengacuhkannya.
"Heh, Mentari! Gue nanya sama lo, kenapa baru pulang?!" Rean yang semula duduk pun beranjak.
Sejenak Mentari menghentikan langkahnya. "Mikir!"
"Sewot banget lo!" cetus Rean seraya melangkah membuntuti Mentari.
Mentari tidak merasa terganggu dengan Rean yang membuntutinya. Ia hanya ingin cepat sampai ke kamarnya karena merasa perutnya begitu sakit. Namun, saat ia baru menaiki beberapa anak tangga spontan menghentikan langkahnya. Mungkin sesuatu yang memalukan itu terjadi.
Rean yang melihat Mentari menghentikan langkahnya pun ikut terhenti. Sesaat waktu pun seolah berhenti karena keduanya sama-sama terdiam. Lantas Rean membalikkan tubuhnya dan menuruni anak tangga.
Menyadari Rean yang menuruni tangga Mentari pun segera memeriksa rok bagian belakangnya yang memperlihatkan noda bercak darah. "Sial!" Mentari berdecak kesal. "Malu-maluin aja sih, Tar!"
Mentari pun kembali melangkah. Ia mempercepat langkahnya dengan terus mengumpati dirinya yang sangat memalukan.
————————
Entah sudah berapa lama Rean mengumpulkan niatnya untuk memasuki supermarket akhirnya pasrah. Dia yang berdiri di bawah pohon beringin terus memperhatikan supermarket yang terlihat lumayan ramai dengan terus merutuki kebodohannya.
"Udah lah, Om, pasrah aja," ucap seorang anak laki-laki yang berdiri di samping Rean.
"Iya Om, serahin aja sama kita." Anak laki-laki satunya menimpali.
Kedua anak laki-laki itu membuat Rean berdecak sebal. "Lo berdua jangan panggil gue 'om'! Gue masih muda, umur gue baru delapan belas tahun! Panggil gue kakak!"
"Kita panggil 'om' karena Om udah punya istri 'kan? Kalo belum barang itu buat siapa?"
"Jangan-jangan—"
"Heh, Bocil!" Rean berkacak pinggang menatap keduanya. "Lo tau apa soal orang dewasa, hah?!"
"Udahlah, Om, serahin aja sama kita."
Rean menghela napas panjang sebelum akhirnya mengangguk menyetujui.
Karena keputusan Rean yang mempercayai kedua anak laki-laki itu Rean harus berdiri di pinggir jalan komplek menunggu kedua anak itu. Entah apa yang kedua anak itu rencanakan.
"Sial banget gue!" Rean beberapa kali menendang pohon kelenteng melampiaskan kekesalannya.
Sampai akhirnya dia merasa lega di saat mendapati kedua anak itu dengan menenteng sebuah kantong plastik putih yang lumayan besar.
"Kan kita gak boong, Om!" ucap anak laki-laki yang menyodorkan kantong plastik itu pada Rean.
Rean dengan senang hati menerima kantong plastik itu walaupun sedikit jengkel karena dipanggil 'om'. "Ya abis kalian ngapain bawa gue ke komplek?! Mana gue jalan kaki lagi."
Keduanya hanya cengengesan.
"Di komplek 'kan gak malu, Om."
"Ya deh, yang penting barangnya dapet!" Rean tersenyum sumringah. "Walaupun gue harus ngeluarin banyak duit!"
Lagi-lagi keduanya hanya cengengesan. Sedangkan Rean mulai melangkah pergi dengan menenteng sebuah kantong plastik yang lumayan besar.
"Makasih, Om, duitnya!" Kedua anak laki-laki itu berteriak membuat Rean menganggukkan kepalanya tanpa menoleh.
Akan tetapi perasaan Rean mulai tidak enak di saat pendengarannya dipenuhi seseorang yang seolah memanggilnya. Rean menghentikan langkahnya dan berbalik.
"Heh anak muda ... !!!" Seorang ibu-ibu ber-daster merah berteriak lantang dengan setengah berlari mendekatinya.
Rean hanya terdiam mengerutkan keningnya mendapati ibu-ibu ber-daster merah itu seperti banteng yang hendak menyeruduknya.