"Gue gak mau terlibat."
Mentari to the point dengan tujuannya. Mendapati banyaknya pesan saat tadi malam membuat Mentari seperti diteror oleh si pengirim pesan itu, Adeline. Dan akhirnya ia menemui Adeline di sebuah kafe.
Adeline yang duduk terpekur di sofa yang disediakan di dalam kafe itu tidak sedikit pun menanggapi ucapan Mentari.
"Gue—"
"Cuma minta lo ke sini doang." Adeline membenarkan posisi duduknya.
"Apa?"
Adeline berdeham. "Gue hamil."
Ucapan dari Adeline itu tidak membuat Mentari terkejut sedikit pun.
"Lo tolongin gue, Mentari."
Mentari terkekeh dan beranjak dari duduknya. "Apa hubungannya sama gue?"
"Mentari—"
"Sorry, Kak, gue sibuk." Lantas ia melenggang pergi tidak memperdulikan Adeline. Hal yang selalu dihindarinya adalah terlibat dalam masalah seseorang. Dan ... Adeline siapa? Mengapa harus padanya dia bercerita?
Membuang-buang waktu!
Mentari berdiam diri di dekat kafe. Ia merogoh ponselnya dari dalam tas berkarakter kepala beruang warna coklat yang tersampir di bahunya.
"Ray, di mana sih alamat rumah lo?"
"Di dekat basecamp lima anak King Tiger."
Mentari tertawa hambar. "Lo jangan melawak ya, Ray. Mana gue tau basecamp mereka!"
"Sewot banget lo, Tar!" Kali ini Elza yang menyahut.
Mentari berdecak. "Gak sewot gimana coba—" Mentari tidak melanjutkan ucapannya karena seseorang dari belakang membungkam mulutnya. Lambat-laun kesadarannya menghilang. Mungkin sebuah kain yang membungkam mulutnya sengaja diberikan bius.
Sedangkan di sebrang telpon Raya dan Elza terus menyahuti Mentari dengan panik. Sampai akhirnya sambungan telpon pun berakhir.
——————————
Sontak Mentari membuka matanya saat merasakan sentuhan lembut di bagian dagu dan pipinya. Hal yang pertama dilihatnya adalah Maureen.
"Welcome, Mentari Sayang."
Mentari yang baru menyadari bahwa dirinya tengah diikat sebuah tambang memberontak. "Lepasin gue!"
Maureen terkekeh. "Tenang aja, Sayang, gak pa-pa." Lantas Maureen mengelilingi kursi yang Mentari duduki.
Mentari mengamati seisi ruangan. Ruangan kamar yang luas dengan dekorasi klasik modern. Tidak seperti pada film-film yang di sekap di dalam gudang usang.
"Apa yang kalian bicarakan saat di kafe?"
Mentari termenung membuat Maureen tak tanggung-tanggung menendang kaki kursi yang Mentari tempati. "Ngomong!"
Susah payah Mentari menelan salivanya. Ia terkejut dengan apa yang barusan Maureen lakukan.
Masih tidak mendapati jawaban dari Mentari, Maureen pun mencekal dagu Mentari dengan kuat. "Apa yang si Adeline ceritakan sama lo?!"
"Sumpah gue gak tau apa-apa!"
"Lo pikir gue percaya?!"
"Gue gak tau apa pun!"
"Brengsek!" Maureen dengan kasar melepaskan cekalnya. "Lo deket sama Adeline, itu artinya lo musuh gue!"
"Sumpah, gue gak deket sama Adeline!"
Sekali lagi Maureen menendang kasar kaki kursi yang Mentari duduki. "Gue gak percaya!"
Mentari hanya bisa terdiam. Kesialan benar-benar tengah menimpanya. Dalam lubuk hatinya terus bertanya-tanya apakah Adeline dan Maureen adalah musuh terbesar?
Maureen yang frustrasi melampiaskannya dengan cara mengacak-acak ruangan kamar itu. Suara pecahan barang berdengung begitu jelas di pendengaran Mentari. Seprai yang menutupi kasur pun menjadi sasaran Maureen.
Mentari memejamkan kedua matanya. Kepalanya mulai terasa sakit. Dengan apa yang Maureen lakukan membuat Mentari mengingat kejadian empat tahun yang lalu. Bayang-bayang mama dan papa tengah bertengkar teringat jelas di benaknya. Sampai setetes cairan bening di balik pelupuk matanya berhasil lolos.
Tari benci sama kalian!
Tari gak butuh kalian!
Hati Mentari menjerit merasakan pilu yang selama ini ditahannya. Kepada siapa ia harus bercerita? Fakta hanya dirinya sendiri yang mendengarkan dan menguatkan membuat sesak di dadanya tak menemukan jalan untuk keluar.
Dunia terlalu keji!
Gue yang katanya sempurna, gak ada orang yang percaya sama luka yang gue rasakan!
Sampai akhirnya Mentari leluasa mengeluarkan kesedihannya mengingat papa tega membuangnya begitu saja. Apa papa mencari keberadaannya? Tentu tidak! Posisinya sudah tergantikan dengan sosok Vina. Ia menangis dengan deru napas yang tak beraturan. Napasnya tersengal-sengal.
"Lo lebay, Mentari! Kenapa lo nangis?!" Maureen yang masih dengan amarahnya lantas melemparkan sebuah figura tepat ke hadapan Mentari.
Mentari diam terpaku menatap figura yang sekarang sudah hancur itu. Figura yang menampakkan foto Maureen bersama dengan Adeline. Mereka terlihat sangat akrab. Hal itu membuat Mentari beropini 'sedekat apa pun manusia, perpisahan itu ada. Menjadi asing pada waktunya akan terjadi'.