Kabar mading di istirahat kedua telah berganti konflik. Konflik Mentari tergantikan dengan konflik Adeline yang tengah hamil muda akibat pergaulan.
Mentari yang mengetahui hal itu dengan segera mencari keberadaan Adeline. Ia seorang diri rela pergi ke ruangan kelas Adeline yang kebetulan satu kelas dengan Rean. Namun, ia malah mendapati Rean tengah bersama Vina dan teman-teman yang lainnya.
"Sun." Niko spontan berucap ketika mendapati Mentari di ambang pintu.
Mentari yang ditatap seisi ruangan hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Um .... " Mentari mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan. Sampai akhirnya ia berkontak mata dengan Rean. "Gak pa-pa. Sorry." Lantas Mentari bergegas pergi.
Tidak menyerah begitu saja. Mentari lantas menghubungi nomor Adeline. Bagaimanapun juga kepercayaannya pada Adeline tidak main-main. Walaupun ia sempat merenungkan argumen Rean yang mengatakan bahwa Adeline adalah seorang manipulator.
Mentari mulai dibuat kesal karena Adeline tidak mengangkat panggilannya. Kekesalan Mentari mengundang rasa penasaran Zidane dan langsung menghampirinya.
"Kenapa, Tar?"
"Kak Adeline kok gak ada ya?" Mentari berharap Zidane bisa membantunya.
Alih-alih menjawab Zidane tertegun mendapati mata cantik yang telah lama tak dijumpainya. Mata cantik itu sekarang memancarkan kekhawatiran.
"Ada apa?" Mentari berhasil membuyarkan Zidane dari lamunannya.
"Um, gue kurang tau sih." Zidane menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Hening menyapa keduanya sebelum akhirnya Mentari memilih untuk segera pergi.
"Mentari, siapa seseorang yang lo tunggu saat itu?" Zidane bergumam seraya menatap kepergian Mentari dan berakhir menyeringai.
-----------
Tidak sia-sia perjuangan Mentari untuk mencari keberadaan Adeline. Setelah jam pulang sekolah akhirnya Adeline mengangkat panggilan telepon darinya.
Tidak berpikir panjang Mentari segera pergi ke alamat yang Adeline kirimkan. Bersama dengan taksi yang melaju tenang di atas jalanan aspal pikiran Mentari terbebani oleh sosok Zidane.
Zidane Arafka, laki-laki yang dianggap sebagai satu-satunya teman laki-laki. Mengapa harus Zidane mengungkapkan perasaannya saat itu dan berakhir membuatnya enggan untuk bersama lagi. Canggung benar-benar menyelimuti walaupun dulu Mentari masih duduk di bangku SMP. Sampai akhirnya mereka berakhir tanpa kabar. Sekarang ... mereka dipertemukan.
Apakah Mentari telah menyia-nyiakan orang tulus demi egonya yang penasaran akan langit yang sulit digapai?
"Sudah sampai, Neng." Ucapan supir itu membuat Mentari spontan tersadar. Dengan segera ia keluar dari taksi setelah membayar jasa taksi itu.
Sebuah tempat padat penduduk dengan bangunan-bangunan rumah sederhana. Mentari mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sampai akhirnya pandangannya jatuh pada sosok perempuan ber-daster dengan rambut panjang di kuncir dengan asal. Wajah pasi dan penampilannya memang membuat sosok itu sedikit asing. Tetapi cantik alami yang dimilikinya masih melekat. Adeline, dia perempuan itu.
Lantas Adeline membawa Mentari ke dalam sebuah rumah sederhana dengan cat hijau. Ia dijamu seadanya. Duduk lesehan dengan beralaskan tikar membuat Mentari kurang nyaman. Namun, ia bisa menghargai dengan cara menutupi ketidaknyamanan.
"Gue gak tau kapan Maureen tau kehamilan ini." Adeline berucap memecahkan keheningan. "Dia yang nempel fakta di mading itu."
"Kak—" Mentari menjeda ucapannya, menatap manik mata coklat Adeline yang sudah berkaca-kaca. "Tujuan lo sekarang apa?"
Alih-alih menjawab Adeline malah terkekeh. Detik kemudian cairan bening lolos dari balik pelupuk matanya. "Lo kenapa peduli sama gue?"
Mentari geming mendapati pertanyaan dari Adeline. Entah apa alasannya yang membuatnya peduli. Siapa Adeline? Pentingkah untuknya? Apa keuntungan yang akan diraihnya? Itu semua bukan alasan Mentari peduli pada Adeline.
Sembari menyeka sisa air matanya Adeline berujar, "Lo paham sama gue karena lo tau, bahwa gue gak punya tempat cerita. Hati lo lembut, sampai gak bisa menepis hal-hal kecil."
Mentari mengerutkan keningnya. Ucapan Adeline membuatnya bingung dan bersusah payah untuk mengerti.