HIMMEL [Pada Pertemuan Kedua]

halsa
Chapter #19

MENGENANG

Vina menghirup udara malam di atas balkon kamarnya. Senyuman indah tapi menyakitkan ia bingkai di bibir tipisnya. Semilir angin yang seolah ingin membawanya ke tempat lain menjadikan kolase dalam ingatannya berputar.

"Gue pasien di sini. Jadi wajar gue berada di sini."

Ucapan Rean sang kekasih berdengung jelas di pendengarannya.

"Gue boleh gak temenan sama lo? Bosan ya tinggal di rumah sakit. Suntuk!"

"Aku .... "

"Vin, tatap lawan bicaranya. Di hadapan lo orangnya, bukan di bawah kaki lo."

"Iya kak Langit, maaf."

"Gak usah panggil Langit. Panggil aja Rean. Sekarang udah ganti nama panggilan."

Vina terkekeh mengingat itu. Itu kali pertamanya bicara diluar kepentingan dengan Rean. Bagaimanapun juga Rean adalah mantan anggota OSIS yang mengurus event puisi saat itu yang diikutinya. Mereka tidak pernah berbicara diluar kepentingan. Rean benar-benar sosok yang dingin.

Kali pertamanya saat melihat Rean ia langsung dibuat jatuh hati. Alasan tampan bukanlah yang utama. Tapi attitude. Dia sopan dan menghargai. Vina sendiri pernah menyaksikan Rean yang mengusut kasus perundungan. Walaupun Rean seorang anak laki-laki yang hobi bermain motor seperti anak berandalan, dia memiliki hati yang lembut. Entahlah, Rean seperti bunglon yang berubah tergantung lingkungan. Memendam rasa suka sendirian tidak menjadikannya seorang yang merugikan, jika itu untuk jatuh hati pada sosok langit yang sulit tergapai.

Imajinasinya menjadi nyata saat kejadian di rumah sakit itu. Dia bisa berbincang ringan dengannya. Lambat-laun mereka akrab sampai berbagi kisah kecil. Rean berada di rumah sakit karena alasan transplantasi ginjal. Sedangkan dirinya menjalani rawat inap karena kanker paru-paru.

"Aku sakit liat kebersamaan kamu sama Mentari. Aku ... takut. Dia lebih dari segalanya." Vina memejamkan kedua matanya. Rasa takut akan kehilangan kekasihnya seolah akan menjadi nyata dalam waktu dekat ini. Orang-orang yang membicarakan Mentari dan segala kelebihannya, memojokkannya untuk sadar diri. Mereka tidak berani melakukan pembullyan fisik padanya karena alasan Rean adalah kekasihnya. Rean yang bisa menjadi ganas jika seseorang yang dekat dengannya terusik.

"Kak Maureen, aku capek dibully terus." Vina perlahan mulai menitikkan air matanya. "Kasus kak Adeline— sudah terungkap. Apa dia kembali— atau menemukan yang baru. Mentari Hadley—" Sejenak Vina terdiam, "Wirawan. Kita memiliki nama belakang yang sama."

"Alasan kak Rean nembak si Vina itu karena ngerasa kasian pas kak Maureen bawa diary book-nya. Kak Rean ganas-ganas menyeramkan gitu 'kan hatinya baik." Ucapan itu terlontar di saat sebelum kak Rean mengadakan siaran langsung di dekat mading itu.

Vina benar-benar tidak berharga di mata mereka. Ucapan itu menyakitkan. Dia anak tunggal dari papanya sang pengusaha. Namun, sikapnya yang pendiam, penakut dan pemalu membuatnya tak jarang hanya dimanfaatkan saja.

"Gak pa-pa. Walaupun kamu jadi pacar aku karena alasan itu. Alasan demi menyelamatkan aku." Vina tersenyum tipis. "Aku akan bikin kamu menyukaiku. Tidak akan aku biarkan siapa pun memisahkan kita."


°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°


"Cinta itu ... sebuah anugrah. Bisikkan untuk— Ren!" Gion memberengut kesal di saat dirinya tengah membaca isi dari selembar kertas yang sudah lusuh itu dengan seenaknya dirampas sang empunya, Rean.

"Lo dapetin ini darimana, hah?!" Rean menatap Gion nyalang seraya mendudukkan bokongnya di atas sofa.

Alih-alih menjawab Gion malah terkekeh.

"Jatuh cinta lo, Ren?" tukas Rayhan yang baru saja memasuki basecamp.

Mereka sekarang tengah berada di basecamp. Basecamp yang sengaja didirikan Rean dan keempat temannya. Tepat di belakang villa yang Rayhan dan Raya tempati bersama dengan papanya. Bahkan kedua tempat itu memiliki jalur masuk yang sama, pagar gerbang minimalis yang menjulang tinggi. Ruangan serba hitam dilengkapi dengan lukisan alam 3D yang menghiasi dindingnya, karya Gion. Ruangan tanpa sekat antara living room sampai kitchen area menghidupkan sebuah karya lukis. Sederhana, tetapi nyaman dipandang dan ditempati. Di tempat itu hanya tersedia sebuah kamar yang lebih sering diisi Niko yang jarang pulang ke rumah.

"Gue cuma iseng-iseng aja." Rean membalas dengan nada tidak suka.

"Idih, ngeles dia!" Gion tertawa terbahak-bahak. "Malu dikatain jatuh cinta!"

"Jatuh cinta sama siapa, Ren!?" Rayhan yang penasaran dengan segera mendekati Rean membuat Rean risih. "Vina?"

Rean berdecak. "Masa iya sama mak lo!"

"Mak gue udah mati!" Rayhan menepuk pundak Rean. "Lo beneran cinta sama Vina?"

Rean sesaat terdiam sebelum akhirnya mengangkat kedua alisnya mengiyakan. "Gue—" Ucapannya terpotong karena gelak tawa Gion yang sudah seperti orang kehilangan akal.

"Lo kenapa sih, Oon!?" Rayhan membanting bantal sofa tepat mengenai sasaran, kepala Gion.

"Pantesan motornya si Niko doang yang keliatan. Orangnya ikut bakar-bakar sosis sama cewek-cewek!" Gion menyahuti di tengah gelak tawanya.

"Siapa?"

Lihat selengkapnya