Cukup lama Mentari menatap jam dinding yang menunjukkan pukul satu siang sebelum akhirnya menghempaskan tubuhnya ke kepala sofa. Buku-buku tercetak tebal dipangkuannya ia biarkan ditempat. Sesekali memijit pelipisnya, lantas memejamkan kedua matanya.
"Lapar." Mentari bergumam pelan sembari perlahan membuka matanya.
Pahatan sempurna nyaris tak ada celah. Hidung mancung yang bertengger sama persisnya dengan rahang kokoh kerasnya. Datar dengan mata elang yang terus menatapnya.
"Langit!" Sontak Mentari beranjak dari duduknya setelah memakan lumayan banyak waktu mengamati wajah Rean yang entah sejak kapan berdiri di hadapannya. "Eh, maksud gue Kak Rean."
"Temenin gue ke mall." Rean tidak menanggapi ucapan Mentari.
"Sendiri aja," sahut Mentari cepat seraya berjongkok, merapikan buku-buku yang terjatuh dari pangkuannya.
"Temenin." Terdengar datar tapi seperti penegasan.
"Males!" balas Mentari ketus.
"Temenin!" Kali ini ucapan Rean benar-benar terdengar sebuah perintah.
Mentari menghela napas panjang sebelum akhirnya menatap Rean seksama yang sudah rapi dibaluti kemeja panel. "Kenapa gak minta Vina aja? Kenapa gue?"
"Vina sakit," balas Rean dengan tenang. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana jeans selutut yang dikenakannya.
Mentari menyimpan buku-buku yang sudah dibereskan itu di atas meja, lantas berdiri tegak berhadapan dengan Rean. "Lo bisa sendiri, kan?"
"Gak!" Kali ini nada bicara Rean semakin datar.
"Lo .... " Mentari tidak melanjutkan ucapannya menyadari wajah Rean yang datar. Wajah tanpa dosa menurutnya. Dia tidak memikirkan apa yang akan terjadi padanya jika mereka terus bersama. Jelas, Mentari mengakui merasa nyaman bersama dengan Rean. Namun, hal itu bisa perlahan diabaikannya dengan cara menjaga jarak.
"Gue mau jenguk Vina. Gue gak tau selera perempuan, jadi gue minta tolong sama lo buat bantuin gue cari hadiah," jelas Rean masih dengan wajah datarnya.
Memang benar wajah Rean bawaan dari lahir. Datar seperti malas untuk hidup. Tapi lebih baik seperti itu daripada hangat yang tentunya membuat Mentari salah paham.
"Lo gak cedera atau gimana gitu?" Mentari mengamati tubuh Rean yang lebih tinggi darinya. Mengingat kemarin laki-laki itu baku hantam membuatnya berpikir keadaan tubuhnya tidak baik-baik saja.
Rean menggelengkan kepalanya. "Gue jantan."
Alih-alih menjawab Mentari malah mendelik kesal. Lantas ia melangkah dengan bersidekap dada.
"Kalo lo gak mau nganter gue, siap-siap mading akan nyerang lo." Ucapan Rean berhasil membuat langkah Mentari seketika terhenti.
Mentari yang sudah membelakangi Rean berbalik menatap Rean nyalang. "Maksud lo apa?!"
"Kabar mading bakalan ngatain kalo lo itu perebut pacar orang." Rean tersenyum miring.
"Rebut lo dari Vina gitu?"
Rean mengangkat kedua alisnya mengiyakan.
Mentari dengan spontanitas menarik kemeja Rean. "Gak waras lo emang!"
Rean tak berkutik. Tenaganya terlalu sulit untuk Mentari kalahkan.
"Lo jangan berani-beraninya ganggu hidup gue!!!" teriak Mentari seraya menarik-narik kemeja yang Rean kenakan.
Dengan sedikit jarak diantaranya, Rean tersenyum simpul. Dia menatap manik mata coklat Mentari sampai keduanya berkahir sama-sama terdiam.
Mentari dengan wajah polosnya tidak tanggung menatap wajah Rean dari jarak dekat. Dia menelusup masuk ke dalam mata elang Rean. Dalam mata elang itu tersirat kekosongan.
"Mau temenin gue gak?"
Cukup membuat Mentari tersontak dengan suara Rean itu yang lebih serak dari biasanya. Ia melangkah mundur sembari menggaruk tengkuknya. "Oke! Tapi lo harus traktir gue di sekolah nanti!"
Rean dengan spontanitas mengangguk membuat Mentari dengan cepat berlari kecil, masuk ke dalam kamarnya.
°°°°°°