Hukum alam mengatakan tidak akan ada penyesalan jika tidak disertai keterlambatan.
Kini, Rean dengan rasa sesalnya berlari tergopoh-gopoh di koridor rumah sakit. Mendengar kabar ada seorang gadis SMA yang tertimpa mobil besar membuat hidup Rean terasa berhenti seketika. Dadanya bergemuruh hebat. Jantungnya nyaris lepas dari tempatnya. Di saat mengendarai motor pun dia tidak akan menyangkal dikatakan kesetanan. Panik, sesal, khawatir, semuanya itu memenuhi pikiran dan perasaannya.
Dari kejauhan Rean melihat beberapa orang warga lokal berada di dekat ruang ICU yang berisikan korban kecelakaan, seperti yang dikatakan resepsionis.
Andai jika dia tidak mengizinkan Mentari pergi begitu saja. Andai dia tidak seharusnya menomorsatukan hubungan asmaranya. Andai langkahnya yang hendak mengejar Mentari tidak diurungkannya hanya karena kekasihnya. Semua andai itu tidak ada gunanya. Mungkin rasa sesal akan selamanya menghantui.
"Pak .... " Rean merasakan rasa sesak di dadanya, tak kuasa melanjutkan ucapannya. Bahkan seluruh tubuhnya bergetar hebat.
Seorang pria yang menjadi lawan bicara Rean menepuk singkat pundaknya. "Tenang, dokter tengah berusaha."
Seketika pandangannya mengabur. Rean merasa dijatuhkan dari atas gedung pencakar langit. "Gadis itu .... " Ucapannya terhenti saat ruangan ICU terbuka.
Seorang dokter wanita datang dari balik pintu ruangan ICU itu. "Korban kecelakaan atas nama Anggun Adela, harus segera dioperasi. Siapa walinya?"
Rean termangu seketika mendengar ucapan dokter wanita itu. Ada sedikit rasa lega saat dokter itu tidak menyebutkan nama Mentari.
"Pemuda ini." Tunjuk seorang warga pria.
Rean dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Saya salah orang. Gadis yang saya cari Mentari Hadley Wirawan." Lantas Rean melenggang pergi begitu saja. Perasaanya tidak karuan. Walaupun korban itu bukan Mentari, tapi rasa takutnya pada keadaan Mentari tak kunjung hilang. Takut terjadi hal buruk pada gadis yang harus dilindunginya itu.
Di tengah kepanikannya Rean bergegas pergi untuk menemui resepsionis. Setengah berlari dengan jantungnya yang nyaris lepas dari tempatnya. Sampai akhirnya dari kejauhan Rean mendapati seorang gadis yang tengah berjalan dengan langkah gontai. Kepalanya tertunduk dengan sesekali tubuhnya menyender pada tembok koridor. Perlahan Rean memelankan langkahnya sampai akhirnya terhenti tepat di hadapan gadis itu.
"Mentari .... " Rean berucap lirih membuat gadis itu seketika mendongak.
"La—" Ucapan gadis itu, Mentari, terhenti karena Rean dengan cepat menarik tubuhnya ke dalam pelukannya.
Mentari yang dalam keadaan tubuhnya bergetar mengeratkan pelukannya pada perut kekar Rean. Detik kemudian ia menitikkan air matanya.
"Gue khawatir." Satu ucapan Rean itu membuat Mentari tak tanggung-tanggung mengeluarkan sesak yang bersarang dalam dadanya. Ia menangis tanpa akan memberikan jeda. Rasa emosi karena menahan rasa takutnya kini bisa ia tenangkan perlahan.
"Nangis aja." Rean mengusap-usap kepala Mentari lembut. Dadanya masih berdetak kencang seperti saat pertamakali mendengar kabar kecelakaan itu. Bahkan bisa dipastikannya dadanya berdetak lebih kencang.
———————