Jika diberi kesempatan untuk mengulur waktu, maka apa yang kamu—
"Gue bakalan pergi ke London, menerima kenyataan bahwa papa bukan lagi orang penting. Membuang waktu!" Mentari berucap sewot saat radio yang menyala di living room itu mengajak pendengarnya untuk merenung.
Bersamaan dengan mematikan radio itu Mentari bergumam dengan kesal, "Kenapa kemarin gue nangis coba!?" Lantas ia menghembuskan napasnya kasar seraya melangkah pergi dengan penampilan rapi yang sudah siap untuk berangkat ke sekolah.
Tentang kejadian di rumah sakit itu ... lupakan! Bahkan sepulang dari rumah sakit saat kemarin malam ia menderita seorang diri dalam ruangan kamar hanya untuk menghawatirkan harga dirinya takut menghilang di hadapan laki-laki yang entah pantas atau tidak dijuluki sebagai 'Kang Ghosting'.
Please, Mentari juga perempuan yang harus menjaga image. Di saat sedih ataupun menderita semuanya pasti lupa untuk hal apa pun. Termasuk menjaga harga diri agar terlihat sulit untuk didekati.
"Gak mau gue sampai dia tau kalo gue suka .... " Mentari bergidik ngeri membayangkan saat-saat bodohnya di masa SMP, di saat begitu semangatnya hanya untuk mendapat perhatian Rean.
"Non, udah siap aja." Bik Susi yang tengah menyiapkan sarapan pagi berujar membuat Mentari seketika mengehentikan langkahnya.
"Iya, Bik Sus, Tari mau berangkat pagi-pagi." Mentari mengulum senyum.
"Silahkan, Non, sarapan udah siap! Tapi den Rean sama nyonya belum turun."
Seketika Mentari membelalakkan matanya. "Kak Rean ngapain di sini?!"
"Ini rumah gue!" Rean yang entah sejak kapan berada di belakang Mentari dengan cepat menyahuti. Dia juga sudah siap untuk berangkat ke sekolah.
Mentari mengigit bibir bawahnya. "Ya, biasanya lo tinggal sama oma, kan?"
Alih-alih menjawab Rean malah menarik kerah baju Mentari bagian belakang bak menjinjing seekor kucing.
"Apaan sih lo!" Mentari memberontak yang akhirnya bisa lepas dari Rean. "Lo kira gue kucing!"
Rean tidak menanggapi ucapan Mentari. Dia memilih menarik kursi yang akan didudukinya, bersiap untuk sarapan pagi.
Mentari pada akhirnya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, menatap Rean yang sekarang memunggunginya. Gue 'kan harus cool, batinnya.
"Silahkan, Non, sarapan," ujar bik Susi yang sudah selesai dengan tugasnya, menyiapkan sarapan pagi.
"Tari lagi buru-buru, jadi sarapan di sekolah aja." Lantas Mentari buru-buru melangkah pergi tanpa menunggu jawaban dari bik Susi yang pastinya akan kekeh memaksanya sarapan terlebih dahulu.
"Mentari!" Rean yang hendak mengoleskan margarin pada selembar roti berteriak. Tidak ada jawaban dari Mentari yang kian menjauh membuat Rean berinsiatif menyusulnya.
"Aduh, pada kenapa ini?" Bik Susi dibuat kebingungan, entah apa alasan yang pastinya.
Rean dengan gesit mengejar langkah Mentari yang setengah berlari. "Lo kenapa sih? Emang pagi-pagi gini mau ngapain?"
Mentari bungkam, memilih untuk mengabaikannya dengan kakinya yang terus melangkah.
"Hei!" Rean dengan spontanitas menahan bahu Mentari. "Lo kenapa? Kesurupan?"
Mentari berdecak, menatap Rean nyalang. "Gue sibuk. Mau berangkat sekarang."
"Oke—"
"Lo gak bawa tas." Mentari menyela ucapan Rean.
Tanpa menjawab ucapan Mentari, Rean pun melangkah memasuki rumah. Pada kesempatan itu Mentari melarikan diri.