Baru saja Mentari mendudukkan bokongnya di kursi belajar harus beranjak demi membawa ponselnya yang berdering di atas nakas.
Setelah melihat kontak dengan nama 'Kak Adeline' tertera di layar ponselnya, Mentari menggeser ikon hijau dan langsung menempelkan benda pipih itu di telinga kanannya.
"Mentari, gue sekarang lagi siap-siap buat pergi ke airport, siap buat terbang ke Jerman jam sembilan nanti," ucap Adeline di sebrang telpon.
"Serius?" tanya Mentari tak percaya.
"Iya, airport Soekarno Hatta. Gue hubungi lo karena wasiat dari lo." Adeline terkekeh di sebrang sana. "Lo minta gue buat ngasih tau kalo mau pergi ke Jerman."
"Iya, gue mau ketemu sama lo untuk terakhir kalinya." Lantas Mentari membisu merasa canggung. Katakan bahwa ini adalah momen akward karena Adeline di sebrang sana pun tak bersuara.
Sampai akhirnya Mentari berdeham hanya untuk memecah keheningan. "Walaupun kita gak saling mengenal, tapi ... gue ngerasa kasian sama nasib lo." Lantas Mentari mendudukkan bokongnya di tepi ranjang. Ia menatap pantulan tubuhnya yang masih dibaluti seragam sekolah dalam cermin panjang. "Gue harap lo gak patah semangat. Jangan lukai janin dalam kandungan lo ya, gak berdosa."
Maureen lagi-lagi terdengar terkekeh di sebrang sana. "Jangan kasih tahu sama siapa pun tentang kepergian gue. Papa sama mama, ataupun Roni si brengsek itu belum nemuin kehadiran gue. Biarin aja, gue akan ngabarin papa sama mama pas nyampe di Jerman."
"Padahal—"
"Gue gak mau terus ngerepotin mereka, Tar. Cukup sampai sini aja, kebaikan mereka gak akan gue lupakan. Maureen dan Roni ... mereka brengsek. Gue biarin aja mereka sampai alam semesta yang turun sendiri mengadili."
Hening lagi-lagi terjadi beberapa saat sebelum akhirnya Mentari berucap, "Gue bakalan datang. Penerbangannya jam sembilan malam, kan?"
"hmm"
"Oke."
Sampai di sana, sambungan telpon pun berakhir.
Mentari lantas membaringkan tubuhnya di atas ranjang, menutup kedua matanya. Miliaran manusia berada dalam masalahnya. Mereka mampu bertahan. Kenapa aku harus enggak? Langit, jika semesta mengizinkanku untuk menggapai mu, maka aku akan berusaha. Ini tentang ketulusan walaupun ada kebodohan tentang mengapa harus memperjuangkan seseorang yang belum pasti? Kebahagiaan ... tunggu aku menggapai mu, batinnya.
—————
Sesaat setelah Mentari ke luar dari kamar terdiam karena sangat kebetulan Rean yang terlihat rapi dibaluti sweater melintasi kamarnya. Mereka sempat berkontak mata sebelum akhirnya Rean melenggang pergi begitu saja.
Mentari menggidikan bahunya. "Mungkin dia gak liat," gumamnya seraya melangkah pergi.
Mentari berjalan dengan netra yang fokus pada ponselnya. Sampai akhirnya kepalanya membentur sesuatu. Ia dengan posisi yang sedikit menunduk mengamati sepasang sneaker shoes berwarna putih tepat berhadapan dengan sneaker shoes putih yang dikenakannya. Ya, Mentari menubruk dada bidang sang pemilik sepatu di hadapannya itu, Rean.
"Mau ke mana?" tanya Rean membuat Mentari sontak mendongak.
"Lo sendiri?" Mentari menautkan kedua alisnya.
Alih-alih menjawab Rean malah mengamati Mentari. Mentari yang dibaluti hoodie putih polos selutut dengan celana jeans pendek. Tote Bag yang tersampir di bahunya juga topi putih polos menutupi sebagian rambut Mentari yang diikat asal membuat Rean yakin gadis itu akan bepergian.
"Kenapa sih?"
"Airport Soekarno Hatta?" tebak Rean dengan kedua matanya yang menyipit.
Mentari dengan ragu menganggukkan kepalanya.
"Tunggu di depan, gue keluarin motor," titah Rean seraya melangkah pergi menuruni anak tangga.
Sejenak Mentari terdiam sebelum akhirnya ikut menuruni anak tangga. Sembari menuruni tangga ia berkata, "Gue bisa sendiri, gak usah repot-repot. Lagian lo sok' tau banget gue mau ke bandara. Ingat ya, gue bukan cewek yang hobi repotin orang. Lo juga jangan sok' peduli sama gue. Pedulikan aja pacar kesayangan lo, nanti dia cemburu. Dan gue gak mau disalahpahami karena lo sering ngikutin gue kemanapun. Gue gak minta ya lo—" Ucapannya terhenti di saat Rean berhenti di ujung tangga.