Mentari tidak sedih, tapi tidak juga bahagia. Mentari tidak berharap pada siapa pun, tapi Mentari berharap ada seseorang yang bersedia merangkulnya. Mentari bisa melupakan sesuatu yang terjadi, tapi tidak dengan sakit hatinya.
Kini, alam yang memamerkan senja yang bersifat fana itu menjadi alasannya angkasa berwarna. Embusan sepoi-sepoi angin menerbangkan anak rambut Mentari yang dibiarkan tergerai. Kakinya yang masih dibalut sepatu terus melangkah menyusuri tepi pantai dengan tatapan teduhnya.
Papa, jikalau Mentari memilih maka akan memilih untuk abadi dalam ruang rindu. Kecewanya yang amat mendalam membuat lubuk hatinya tidak lagi ragu membenci papa. Semuanya ingin diakhiri, tapi tidak tahu bagaimana cara mengakhirinya. Karena bagaimanapun mengakhiri tanpa memulai ialah sesuatu yang sulit.
Mentari menghela napas panjang di saat kakinya berhenti melangkah. Ia sedikit menengadahkan kepalanya, menatap baskara yang terbenam di barat.
Seperti halnya dia yang akan tenggelam dipaksakan oleh waktu
Mentari tersenyum tipis, lantas kembali menatap ke arah depannya yang seketika membuatnya diam terpaku. Mengapa harus dia yang selalu datang? Mengapa dia tahu di mana keberadaannya? Itu yang Mentari pikirkan setiap saat.
Setelah cukup lama berkontak mata dengan seseorang yang tak jarang datang dalam hidupnya yang hanya sekedar singgah, lantas Mentari mengakhirinya, membalikkan tubuhnya membelakangi sosok itu. Rasa kecewanya bertambah dikala kakinya mulai melangkah.
"Mentari!" Rean datang mengejar langkah Mentari yang enggan menghentikan langkahnya. "Mentari!" Dan Rean berakhir memeluk tubuh Mentari dari belakang. Dia memeluknya erat, menenggelamkan wajahnya di atas bahu yang tak lagi mampu bertahan. Kedua remaja yang masih dibalut seragam sekolah di bibir pantai itu merasakan waktu yang terasa berhenti.
Mentari dalam pelukan erat itu mulai melemah. Ia melorotkan bahu dan mulai menitikkan air matanya. Ia memejamkan kedua matanya berusaha menyingkirkan sesak di dadanya. Tangannya berusaha melepaskan tangan kekar yang melingkari tubuhnya, tapi tidak mampu. Laki-laki yang memeluknya memiliki tenaga yang tidak bisa Mentari kalahkan.
"Maaf." Kata terakhir yang Rean ucapkan. Setelahnya dia melepaskan pelukannya dan membalikkan tubuh Mentari agar berhadapan dengannya.
Mentari hendak menyeka sisa air matanya, tapi tangan kekar Rean lebih dulu menggenggam kedua tangannya. Keduanya sama-sama terdiam dengan jarak dekat. Jelas tersirat rasa kecewa dalam mata coklat Mentari yang menyisakan cairan bening, dan tersirat rasa iba dalam tatapan teduh si pemilik mata elang itu.
"Mau apa lagi?" Akhirnya Mentari berhasil berucap setelah berjuang menyingkirkan sesuatu yang membuat tenggorokannya tercekat. "Jangan temui gue."
Alih-alih menjawab Rean malah membawa Mentari dalam pelukannya. Mentari tentu menolak pelukan itu hanya karena ingin menyelamatkan perasaanya. Jikalau dia hanya singgah dan tidak sungguh, maka tidak boleh ada sedikitpun ruang istimewa untuknya. Menepis, menghindari, dan mengasingkan, itu semua jalan terkahir yang harus dilakukannya.
"Gue baru tahu seberapa sakit penderitaan lo selama ini," ucap Rean seraya terpaksa melepaskan pelukannya karena Mentari terus menolaknya. "Maaf, selama ini gue gak tahu siapa bokap lo yang sebenarnya."
Mentari tersenyum kecut, lantas melangkah pergi. Dengan perutnya yang terasa perih yang kemungkinan maag-nya kambuh ia berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Dengan diiringi deru ombak di lautan Mentari berlari kecil. Sakitnya sedikit tertutupi karena sakit dikecewakan sosok papa yang tidak mengakuinya sebagai putrinya. Namun, lambat-laun langkahnya memelan dan berkahir terhenti. Rasa sakit di perutnya kini menyebar. Dengan caranya membungkukkan badan sakit itu terasa berkurang.
"Mentari!" Rean berlari mendekati Mentari bersamaan dengan tubuh Mentari yang ambruk begitu saja di atas pasir.
Mentari pasrah dengan apa pun yang akan terjadi padanya. Mentari pasrah tentang siapa pun yang akan merangkulnya. Tentang menjaga hati adalah hal yang sulit. Kali ini, lupakan tentang perasaan.