HIMMEL [Pada Pertemuan Kedua]

halsa
Chapter #35

Won't Care Anymore

Kejadian saat tadi di depan mading menjadi sebuah film hitam putih yang terputar dalam ingatan Mentari. Ia kecewa dengan apa yang Rean lakukan. Meskinya saat ini Mentari membencinya. Namun, Mentari tidak membencinya—tidak sama sekali. Alih-alih membenci Rean, Mentari benci pada dirinya sendiri karena terhasut oleh Rean dengan sesederhana itu. Sekalipun Rean memang sengaja membuatnya terjebak dalam sebuah perasaan, Mentari tidak membenci laki-laki itu. Tetap dirinya sendiri yang dibencinya karena telah lalai menjaga sebuah perasaan.

Dengan perasaan kalut Mentari memandangi jalan yang dilewatinya dari jendela taksi yang ditumpanginya. Kejadian ini menjadikannya pelajaran—bahwa setiap kehadiran seseorang ialah luka. Seseorang tidak akan datang terkecuali datang dengan masalah yang akan menimpa kita—apa pun itu dan kapan pun itu. Selain kehadiran yang akan selalu berakhir perpisahan, kehadiran tak jarang menjadi sebuah kenangan abadi.

"Pak, berhenti di depan aja, di kafetaria," pinta Mentari pada sang supir taksi yang ditumpanginya membuat supir taksi itu berkata 'siap, Non'.

Sebelum Mentari benar-benar memasuki kafe, ia berkali-kali menghela napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Bukan apa. Memasuki kafe yang telah berdiri selama bertahun-tahun ini membuat Mentari harus membuka kenangan silam yang menyakitkan. Di mana kafe ini adalah tempat Mentari mengikuti bimbel setiap harinya—yang berarti di dekat kafe ini adalah tempat di mana kak Mega menghembuskan napas terakhirnya.

Mentari memilih duduk di pojokan dekat jendela yang mengarah ke jalanan. Terpaksa Mentari terdiam menatapi jalan, yang pada akhirnya bayang-bayang kak Mega tampak jelas di sana. Mentari pun mengingat pesan yang sering kak Mega sampaikan 'sejatinya kebahagiaan tidak ada pada orang lain'.

"Dan jangan simpan kebahagiaan pada seseorang, konsekuensinya ialah kehancuran di mana seseorang itu pergi." Mentari beralibi. Lantas ia menghela napas panjang seraya menatap sekeliling kafe yang tidak begitu ramai pengunjung. "Kayaknya gue harus pergi ke London. Gue harus belajar menerima daddy." Bibir tipisnya tersenyum lebar walau pada kenyataannya senyum itu menyayat perasaannya.

Memang Mentari terlalu egois tidak mengizinkan siapa pun untuk menggantikan sosok papa. Daddy adalah sosok yang tulus. Terlebih dia tidak memiliki keluarga setelah insiden kecelakaan istri dan anak perempuan satu-satunya yang menyebabkan mereka harus pergi selama-lamanya. Daddy pernah berkata bahwasanya dia akan selalu menunggu Mentari menerimanya.

-----

Embusan angin malam terasa lebih menyentuh kulit wajah Mentari setelah menginjakkan kakinya di pelataran rumah. Rumah yang ditempatinya selama ia seorang diri berada di tempat kelahirannya, Indonesia. Karena faktanya, ia menumpang pada orang lain, karena tidak ada satu pun keluarganya di sini.

Papa? Lupakan soal itu. Mentari bukan perempuan berhati lembut yang begitu saja menerima apa yang terjadi. Mentari perlu waktu menerima kenyataan. Ikhlas baginya bukanlah soal ucapan melainkan perasaan.

Ruangan yang semula redup seketika menjadi terang saat pintu rumah utama terbuka. Itu karena Rean menyalakan lampu di ruangan itu.

Perlahan Mentari melangkah masuk ke dalam rumah, sampai akhirnya langkahnya terhenti saat menyadari kehadiran Rean yang berdiri sekitar dua meter di hadapannya.

Lihat selengkapnya