Semesta masih memberi waktu untuk masih saling bertemu, bahkan bersama, apa yang harus dilakukannya? Pasalnya ia tidak akan lagi peduli padanya. Menganggapnya bahwa kita tidak lagi berjalan di lingkungan yang sama. Sekarang kehidupannya bisa didefinisikan sebagai baja dan dia adalah magnet. Sebuah kata yang terucap lantang dalam hatinya 'bahwa ia tidak akan peduli' ternyata kalah hanya dengan sebuah telepon masuk. Mentari yang benar-benar tidak peduli dengan keadaan Rean ternyata hanya untuk menenangkan pikirannya saja. Nyatanya saat nomor Rean menghubunginya, Mentari sontak meminta supir taksi untuk pergi ke rumah sakit. Terlebih ia melihat dengan jelas saat Rean terjatuh dari sepeda motornya.
"Yang nelpon gue orang lain, bukan kak Rean sialan. Jadi gue ke sini karena takut dia mati—" Mentari merasa ngos-ngosan. Ia berhenti sejenak dari larinya di lorong rumah sakit. "Kalo dia mati, kasian tante Agni." Mentari kembali berlari tergesa-gesa menuju ruangan tempat Rean ditangani. Hatinya terlalu gengsi jika harus memperjelas bahwa sebenarnya ia khawatir.
"Korban kecelakaan di jalan SMA Wiladarma?" ucap Mentari pada seorang dokter laki-laki dengan napas ngos-ngosan setelah berada di depan sebuah ruangan.
Dokter laki-laki itu yang tak lain adalah Rivaldi sempat tertegun melihat Mentari. "Kamu Mentari?"
Mentari mengerutkan keningnya. "Kok dokter tahu?"
"Saya Rivaldi." Rivaldi menyodorkan tangannya. "Pamannya Rean, anak Oma, adik mbak Agni."
Mentari membulatkan matanya dan langsung menerima jabatan tangan dokter Rivaldi. "Saya Mentari, Om."
"Jangan panggil saya—"
"Shut, ah!" Rean memotong pembicaraan Rivaldi. Dia baru saja keluar dari sebuah ruangan dengan keadaan kepala dan tangan kirinya terbalut kain kasa.
Sesaat suasana menjadi hening. Mereka bertiga saling menatap satu sama lain.
"Kalian deket?" Dokter Rivaldi memecahkan keheningan.
"Gak!" Mentari dengan cepat menyahuti. "Dia aja yang malah nelpon gue buat dateng ke sini."
"Bukan gue!" tukas Rean. "Bapak-bapak yang nelpon lo."
"Ya, itu pasti lo 'kan yang nyuruh!?" Mentari melangkah mendekati Rean, membuat Rivaldi heran dibuatnya.
"Gue—"
"Kenapa harus nelpon gue!?"
"Kalo nelpon mama kuping gue gak aman! Makanya gue nelpon lo buat minta tolong!"
"Lo itu ganggu waktu orang aja!" Mentari lantas melenggang pergi.
"Tapi kenapa lo maksain buat datang ke sini?" Rean mengikuti langkah Mentari. Sedangkan Mentari mengacuhkan pertanyaan dari Rean.
"Lo khawatir, 'kan?" Rean menarik tas ransel Mentari dari belakang, membuat Mentari berhenti. "Terlebih lo liat gue jatuh dari motor."
Mentari menatap Rean seraya tersenyum sumir. "Gue gak khawatir, makanya gue gak berhenti. Gue ke sini karena orang lain yang nelpon gue. Kalo ada apa-apa sama lo, bakalan terjadi apa-apa juga sama tante Agni. Paham 'kan lo!?"
"Iya, gue paham." Rean mengangguk. "Lo juga ngelakuin ini karena peduli 'kan sama gue?"
Mentari memutar bola matanya jengah. "Emang lo siapa harus gue pedulikan? Lo dan gue terlalu asing untuk menjadi kita yang memiliki sebuah hubungan!" Lantas Mentari melanjutkan langkahnya.
Rean sempat terdiam mencerna ucapan Mentari. Tak berselang lama, dia tersadar dan mengejar langkah Mentari. Tidak ada sepatah kata pun yang Rean ucapkan. Rean memilih bungkam dan mengikuti langkah Mentari yang membiarkannya saja. Saat berada di trotoar untuk menunggu kedatangan taksi pun, mereka saling terdiam. Hanya berdiri bersampingan sampai memakan waktu sekitar lima menit karena taksi akhirnya datang.
"Mentari." Ucapan Rean itu membuat Mentari yang hendak menaiki taksi seketika mengehentikan langkahnya dan menatap Rean.
"Jangan kasih tau mama soal ini," lanjut Rean. "Lo pulang sendiri gak pa-pa, kan?"